(KTI) Daspros Pembelajaran Matematika 1

0
Bagian 1

PENDAHULUAN

Sampai sekarang, dunia pendidikan matematika masih memiliki berbagai masalah. Dua masalah yang amat besar dan amat penting, adalah sebagai berikut. Pertama, sampai sekarang pelajaran matematika di sekolah masih dianggap merupakan pelajaran yang menakutkan bagi banyak siswa, antara lain karena bagi banyak siswa pelajaran matematika terasa sukar dan tidak menarik. Kedua, sekalipun dalam banyak kesempatan sering dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, termasuk bagi kehidupan sehari-hari, banyak orang belum bisa merasakan manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari mereka di luar beberapa cabang matematika tertentu yang memberikan pengetahuan dan ketrampilan praktis seperti berhitung, statistika dan geometri.
Karena adanya dua masalah tersebut, banyak siswa menjadi kurang termotivasi dalam mempelajari matematika. Selain itu, adanya dua masalah tersebut juga menyebabkan pendidikan matematika di sekolah kurang memberikan sumbangan yang berarti bagi pendidikan anak secara keseluruhan, baik bagi pengembangan kemampuan berpikir, bagi pembentukan sikap, maupun pengembangan kepribadian secara keseluruhan. Sebagai contoh, dalam bidang kemampuan berpikir kreatif atau meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, yang banyak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bidang pembentukan sikap, pendidikan matematika di sekolah belum bisa menumbuhkan sikap menghargai matematika sebagai ilmu yang sangat berguna bagi umat manusia pada diri para siswa. Dalam bidang pengembangan kepribadian, pendidikan matematika di sekolah belum mampu mengembangkan pribadi-pribadi siswa menjadi pribadi-pribadi yang mampu mengambil keputusan mengenai apa yag paling baik bagi dirinya, bersifat jujur, dan berani bertanggung jawab terhadap segala hal yang telah dilakukan atau diucapkan. Sehingga banyak siswa menempuh pelajaran matematika melulu karena hal itu diharuskan oleh sistem yang ada, sesuai dengan kurikulum.
Dengan situasi seperti itu, pendidikan matematika di sekolah, dan pendidikan formal pada umumnya, cenderung menghasilkan lulusan yang mempunyai banyak pengetahuan (khususnya pengetahuan faktual), tetapi miskin dalam kemampuan berpikir, dan miskin dalam hal kepribadian, termasuk berjiwa penakut, kurang berani mengambil keputusan, dan kurang berani bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan.
Padahal, dalam dunia yang semakin kompleks ini, pada diri setiap orang semakin dituntut adanya kemampuan berpikir yang tinggi dan kreatif, kepribadian yang jujur dan mandiri (berjiwa independen), dan sikap yang responsif terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi di lingkungannya atau di dalam masyarakat (NCTM, 1989; National Research Council, 1989). Hal ini berlaku di banyak negara, termasuk Indonesia, terlebih-lebih dalam era sekarang ini, di mana demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan otonomi dalam berbagai tataran (individu, kelompok, masyarakat, dan daerah) semakin dianggap penting.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang perlu dilakukan agar pembelajaran matematika di sekolah dapat memotivasi siswa untuk belajar matematika dan mampu mendidik para siswa sehingga mereka bisa tumbuh menjadi orang-orang yang mampu berpikir secara mandiri dan kreatif, berkepribadian mandiri, dan mempunyai kemampuan dan keberanian dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan mereka? Jika pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita dapat mengupayakan terbentuknya siswa dengan karakteristik seperti itu, berarti pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita telah memberikan sumbangan yang besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
            Kalau dicermati secara seksama, nampak bahwa pada kurikulum tahun 1994 dan kurikulum sebelumnya,  tujuan pendidikan matematika yang diarahkan bagi perkembangan potensi siswa secara keseluruhan belum dirancang secara sengaja. Artinya, pengembangan kemampuan berpikir, pembentukan sikap,  pengembangan kepribadian termasuk pengembangan kecakapan hidup belum dipersiapkan secara terencana dalam pembelajaran yang terjadi di kelas.      
       Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Salah satu kemungkinan penyebab adalah karena amanat yang diberikan kurikulum pada tingkat implementasi seolah hanya berhenti sebagai jargon-jargon kosong tanpa makna. Paradigma pembelajaran matematika yang diikuti juga tidak mendukung ke arah tersebut. Sehingga tak dapat dipungkiri dengan situasi tersebut, pendidikan matematika di sekolah, dan pendidikan formal pada umumnya, cenderung menghasilkan lulusan yang banyak pengetahuan (khususnya pengetahuan faktual), tetapi kurang dalam kemampuan berpikir, dalam hal kepribadian, termasuk berjiwa penakut, kurang berani berpendapat, kurang berani mengkomunikasikan pemikirannya dan kurang berani mengambil keputusan, kurang berani bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan.
       Kurikulum baru yang berbasis kompetensi akan “bernasib sama” dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya jika antara lain: tidak “dikawal” dengan paradigma pembelajaran yang tepat dan tidak ditangani oleh guru-guru yang profesional dan berpikiran inovatif. Guru yang tidak “alergi” dan tidak mengedepankan sikap skeptis terhadap adanya perubahan dan kemajuan, termasuk perubahan dalam paradigma pembelajaran matematika.

BAGIAN 2
KARAKTERISTIK DAN POTENSI MATEMATIKA SEKOLAH
            Agar pembelajaran matematika di sekolah dapat memenuhi tuntutan inovasi pendidikan pada umumnya, Ebbut dan Stratker (1995) mendefinisikan matematika sekolah yang selanjutnya disebut matematika, sebagai berikut.
1.    Matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan
2.    Matematika adalah kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan
3.    Matematika adalah kegiatan problem solving
4.    Matematika  merupakan alat berkomunikasi
Sedangkan The Four Faces of Mathematics menurut Keith Devlin (2000) adalah :
·    Mathematics as computation, formal reasoning, and problem solving
·    Mathematics as a way of knowing
·    Mathematics as a creative medium
·    Applications of mathematics
Potensi-potensi yang Dimiliki Matematika
Berdasarkan karakteristik dari matematika (lihat, misalnya Kline, 1968; Bell, 1978; National Research Council, 1989; dan Souviney, 1994), matematika mempunyai potensi yang besar untuk memberikan berbagai macam kemampuan, dan sikap yang diperlukan oleh manusia agar ia bisa hidup secara cerdas (intelligent) dalam lingkungannya, dan agar bisa mengelola berbagai hal yang ada di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Kemampuan-kemampuan yang dapat diperoleh dari matematika antara lain ialah :
1.    kemampuan berhitung
2.    kemampuan mengamati dan membayangkan bangunan-bangunan geometris yang ada di alam beserta dengan sifat-sifat keruangan (spatial properties) masing-masing
3.    kemampuan melakukan berbagai macam pengukuran, misalnya panjang, luas, volume, berat dan waktu
4.    kemampuan mengamati, mengorganisasi, mendeskripsi, menyajikan, dan menganalisis data
5.    kemampuan melakukan kuantifikasi terhadap berbagai variabel dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga hubungan antara variabel yang satu dan variabel yang lain dapat diketahui secara lebih eksak
6.    kemampuan mengamati pola atau struktur dari suatu situasi
7.    kemampuan untuk membedakan hal-hal yang relevan dan hal-hal yang tidak relevan pada suatu masalah
8.    kemampuan membuat prediksi atau perkiraan tentang sesuatu hal berdasarkan data-data yang ada
9.    kemampuan menalar secara logis, termasuk kemampuan mendeteksi adanya kontradiksi pada suatu penalaran atau tindakan
10. kemampuan berpikir dan bertindak secara konsisten
11. kemampuan berpikir dan bertindak secara mandiri (independen) berdasarkan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan
12. kemampuan berpikir kreatif
13. kemampuan memecahkan masalah dalam berbagai situasi
Di samping dapat memberikan kemampuan-kemampuan, bidang studi matematika juga berguna untuk menanamkan atau memperkuat sikap-sikap tertentu. Sikap-sikap yang dapat ditumbuh kembangkan melalui bidang studi matematika antara lain ialah sikap teliti (cermat), sikap kritis, sikap efisien, sikap telaten, dan sikap atentif terhadap detil.
Memang, bidang-bidang studi yang lainpun ada kemungkinan juga mempunyai potensi untuk menumbuh kembangkan satu atau lebih kemampuan atau sikap di atas, akan tetapi potensi matematika untuk menumbuh kembangkan hal-hal tersebut relatif besar karena itu semua sesuai dengan karakteristik matematika.

Karakteristik Pembelajaran Matematika yang dapat Mengaktualisasikan Potensi-potensi Tersebut di Atas
Apakah potensi-potensi di atas akan teraktualisasikan (terimplementasi dalam kenyataan) atau tidak pada diri masing-masing siswa masih tergantung pada berbagai faktor, yaitu karakteristik pembelajaran matematika itu sendiri (baik materi maupun strategi pembelajarannya), faktor sosial-budaya yang ada dalam masyarakat dan beberapa faktor yang lain, termasuk faktor-faktor intrinsik yang ada dalam diri masing-masing siswa. Namun, di antara faktor-faktor itu, yang amat menentukan adalah faktor pembelajaran matematika itu sendiri, yang meliputi materi dan strategi pembelajaran.
Karakteristik pembelajaran matematika yang dapat mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1.     Dari segi materi pembelajaran :
a.      Materi pembelajaran harus meliputi jenis-jenis materi yang sedemikian rupa, sehingga kemampuan-kemampuan atau sikap-sikap yang akan ditumbuh kembangkan bisa tercakup (sebagai contoh, jika kemampuan memahami relasi-relasi keruangan akan dikembangkan, tentulah materi pembelajaran harus mencakup materi geometri yang sesuai dengan kemampuan yang bersangkutan).
b.      Agar kemampuan-kemampuan dan sikap-sikap yang diperoleh siswa juga dapat diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari di luar bidang studi matematika itu sendiri, pada materi pembelajaran perlu juga dimasukkan berbagai contoh situasi nyata dari kehidupan sehari-hari yang relevan. Sebagai contoh, jika siswa diharapkan nantinya memiliki kemampuan menalar yang baik dalam kehidupannya sehari-hari, materi pembelajaran harus mencakup juga berbagai contoh kasus dari kehidupan sehari-hari untuk digunakan sebagai bahan latihan untuk penalaran.
c.      Materi pembelajaran tidak boleh terlalu padat, untuk memberikan kesempatan yang cukup bagi siswa untuk melakukan proses belajar secara aktif dan konstruktif.
2.     Dari segi strategi pembelajaran
Berdasarkan tulisan-tulisan dari National Research Council (1989); NCTM (1989), Schiffer dan Fosnot (1993), Souviney (1994), dan lain-lain, penulis berpendapat bahwa strategi pembelajaran yang sesuai untuk mengaktualisasikan potensi-potensi matematika tersebut di atas adalah strategi yang memenuhi kriteria (syarat-syarat ) berikut :
a.      Strategi tersebut harus memberikan kesempatan dan dorongan bagi siswa untuk secara aktif mengkonstruksi makna (meaning) dari materi-materi yang dipelajari, untuk mengusahakan agar proses pembelajaran betul-betul bermakna (meaningful) bagi para siswa yang bersangkutan, sehingga pengetahuan-pengetahuan, kemampuan-kemampuan, sikap-sikap, dan lain-lain yang dipelajari bisa terinternalisasi dengan baik (lihat, Schifter & Fosnot, 1993). Jika proses belajar aktif dan konstruktif tidak dilakukan, dapat dikhawatirkan bahwa pembelajaran hanya terjadi secara mekanistik (rote learning), sehingga pengetahuan-pengetahuan, kemampuan-kemampuan, sikap-sikap, dan lain-lain tidak terinternalisasi dengan baik, atau bahkan tidak terinternalisasi sama sekali.
b.      Strategi harus secara ekspilist dan intensif melatih dan mengembangkan kemampuan-kemampuan dan sikap-sikap seperti yang disebutkan di muka. Dalam kenyataan yang sering terjadi, pada bagian awal dari GBPP ada perumusan tujuan tentang kemampuan-kemampuan dan sikap-sikap yang diharapkan akan diperoleh; akan tetapi, dalam pelaksanaan dari kegiatan pembelajaran tidak ada usaha yang eksplisit untuk mengupayakan agar kemampuan-kemampuan dan sikap-sikap itu betul-betul bisa diperoleh, dengan akibat bahwa para siswa kemungkinan besar tidak bisa memperoleh atau mengembangkan kemampuan-kemampuan dan sikap-sikap tersebut.
c.      Strategi pembelajaran matematika tersebut harus banyak menggunakan contoh-contoh kejadian (kasus, fenomena) dari dunia nyata untuk dikupas atau dinalisis. Misalnya, untuk melatih siswa dalam memecahkan masalah-masalah dalam dunia nyata, contoh-contoh masalah yang berasal dari dunia sebaiknya juga digunakan. Dengan contoh-contoh kasus nyata tersebut, di samping proses pemecahan masalah menjadi aktual, siswa juga mengetahui konteks-konteks dalam dunia nyata yang bisa dianalisis secara matematis, atau bisa dikupas segi-segi matematisnya. Proses ini juga akan memperkuat motivasi siswa dalam mempelajari matematika, sebab siswa mengetahui relevansi matematika yang mereka pelajari dengan situasi kehidupan nyata yang mereka alami. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Prof. Hans Freudenthal (alm.) bahwa matematika yang dipelajari oleh siswa sedapat mungkin harus dekat atau relevan dengan kenyataan hidup yang dialami oleh para siswa sehari-hari (lihat misalnya, dalam de Lange, 1987; dan Heuvel-Panhuizen, 1996).
d.      Strategi tersebut perlu menunjukkan kegunaan matematika secara terintegrasi pada berbagai masalah, untuk mengusahakan agar siswa memahami bahwa dalam kehidupan nyata seringkali suatu masalah atau suatu gejala memuat berbagai aspek sehingga cabang matematika bisa dipakai bersama-sama untuk menganalisis masalah atau gejala tersebut.

Situasi Pembelajaran Matematika Dewasa ini
Jika kita mencermati pembelajaran matematika di sekolah di Indonesia dewasa ini, ada beberapa gejala yang tampak mencolok, antara lain :
a.     materi pembelajaran yang sangat padat dibandingkan dengan waktu yang tersedia
b.     strategi pembelajaran yang lebih didominasi oleh upaya untuk menyelesaikan materi pembelajaran dalam waktu yang tersedia, dan kurang adanya proses dalam diri siswa untuk mencerna materi secara aktif dan konstruktif
c.      orientasi pembelajaran yang terpaku pada ulangan umum atau Ebtanas/UN
d.     kurang keterkaitan antara materi dan proses pembelajaran dengan dunia nyata.
Berdasarkan gejala-gejala tersebut, dapat diduga bahwa pembelajaran matematika di Indonesia dewasa ini belum mampu mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki oleh matematika pada diri siswa.
Untuk mengupayakan agar pembelajaran matematika di Indonesia dapat mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki oleh matematika pada diri para siswa, banyak hal yang perlu dilakukan, antara lain penggunaan kurikulum yang fleksibel, penerapan strategi pembelajaran yang lebih memberikan kesempatan pada siswa untuk mempelajari matematika secara aktif dan konstruktif, dan upaya untuk lebih melibatkan dunia nyata dalam  proses pembelajaran matematika di sekolah.


BAGIAN 3
TUJUAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Ada lima tujuan yang mendasar dalam belajar matematika seperti dirumuskan oleh NCTM (1990)

·         That they learn to value mathematics;
·         That they become confident in their ability to do mathematics;
·         That they become mathematical problem-solvers;
·         That they learn to communicate mathematically;
·         That they learn to reason mathematically.

Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah
Setiap peninjauan atau penyusunan kurikulum selalu harus berpandu kepada tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran materi tertentu. Selain tujuan institusional perlu dipahami benar tujuan kurikuler yang diwarnai oleh sifat dari materi ajar yang diberikan. Dengan pesatnya perkembangan matematika dewasa ini perlu direnungkan kembali pertanyaan yang sangat mendasar yaitu “Untuk apa peserta didik belajar matematika?” Sudah barang tentu jawaban umum dan sederhana yang dapat diberikan adalah “Untuk keperluan kehidupan peserta didik masa depan”.
Berikut ini disajikan suatu klarifikasi tujuan pembelajaran matematika sekolah yang setiap kali perlu disesuaikan dan dirinci sesuai dengan jenjang pendidikan yang terkait.
Tujuan yang Bersifat FORMAL
Pembelajaran matematika sekolah memiliki tujuan yang bersifat FORMAL. Dalam hal ini pembelajaran matematika sekolah yang diberikan kepada peserta didik dimaksudkan untuk menata nalar peserta didik serta membentuk kepribadiannya. (bila hal itu dipahami dan disepakati, jelas bahwa ketercapaiannya tidaklah hanya dilihat dari lulus/tidak lulus ujian).
Dalam tujuan formal ini terkandung aspek nilai—nilai yang terkait dengan kehidupan keseharian peserta didik kini dan kelak. Dalam hal nilai-nilai tersebut, pembelajaran matematika di masa lalu lebih ditekankan kepada pencapaian yang bersifat “by chance”, yang lebih cenderung tidak dirancang tetapi dengan sendirinya. Dewasa ini pembelajaran nilai-nilai yang terkandung dalam pelajaran matematika banyak dikaji melalui “Rencana Pelajaran” (lesson plan) yang secara sengaja disusun ke arah terbentuknya nilai-nilai tersebut pada diri siswa. Ini biasa disebut “by design”.
Tujuan yang bersifat MATERIAL
Pembelajaran matematika memiliki tujuan yang bersifat MATERIAL. Dalam hal ini pembelajaran matematika sekolah yang diberikan kepada peserta didik dimaksudkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah matematika dan dapat menerapkan matematika. Tujuan yang bersifat material itulah yang selama ini menjadi “satu-satunya tujuan” bagi hampir semua orang. Tidak mengherankan kalau seolah-olah “kelulusan” adalah sasaran akhir pembelajaran matematika sekolah. Munculnya “kursus-kursus” menjelang ujian tertentu menguatkan pendapat tersebut.
Dengan kenyataan berkembang luasnya matematika dewasa ini, yang sudah pasti tidak mungkin semua “hal baru” harus diajarkan kepada peserta didik, para pendidik matematika mulai secara serius menaruh perhatian kepada peserta didik, para pendidik matematika mulai secara serius menaruh perhatian kepada aspek nilai formal dari pelajaran matematika itu sendiri, lebih-lebih dengan hubungannya dengan keharusan menetapkan manakah bagian matematika yang termasuk “mathematics for all”.
Tujuan-tujuan pembelajaran matematika yang dikemukakan dalam GBPP Matematika pada Kurikulum 1994 untuk SD, SLTP menunjukkan bahwa di dalam matematika yang diajarkan di sekolah terdapat berbagai potensi yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang bisa didayagunakan atau diterapkan pada dunia nyata (pada bidang-bidang lain, dan dalam kehidupan sehari-hari).

Sedangkan tujuan pembelajaran matematika yang diamanatkan KBK adalah sebagai berikut.
1.     Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsistensi.
2.     Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.
3.     Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
4.     Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dlalam menjelaskan gagasan.
            Yang perlu dipertanyakan adalah dapatkah tujuan pembelajaran di atas tercapai tanpa adanya kesengajaan dari para guru untuk merancang pembelajaran yang dapat mendukung pencapaian tujuan tersebut? Perlukah buku pelajaran yang dapat menjadi rujukan guru untuk merancang pembelajaran tersebut?  Kedua pertanyaan ini mengarahkan kita pada jawaban bahwa guru harus secara sengaja merancang pembelajaran yang mendukung pencapaian tujuan tersebut. Dengan tersedianya buku pelajaran yang sudah selaras dengan KBK, tentunya akan sangat membantu keperluan guru tersebut.
            Standar Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK).
KLK ini merupakan kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Standar Kompetensi Lintas Kurikulum adalah sebagai berikut:
1.   Memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya.
2.   Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain.
3.   Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola, struktur, dan hubungan.
4.   Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan dari berbagai sumber.
5.   Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dan teknologi, dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil keputusan yang tepat.
6.   Berpartisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya global berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan historis.
7.   Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab.
8.   Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan memperhitungkan potensi dan peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
9.   Menunjukkan motivasi dalam belajar, percaya diri, bekerja mandiri, dan bekerja sama dengan orang lain.
            Pertanyaan yang mengemuka setelah mencermati standar KLK tersebut adalah: Bagaimanakah upaya yang dapat kita lakukan agar pembelajaran matematika di sekolah dapat mengakomodasi sebagian besar kompetensi lintas kurikulum sebagaimana disebutkan di atas? Atau kita hanya akan tenggelam dalam kebiasaan lama kita, dengan membiarkan teks/pesan di atas kosong makna dan hanya sebagai “pemanis” kurikulum baru? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah, bahwa perlu upaya mengembangkan bahan ajar matematika yang secara cerdas dapat mengakomodasi standar KLK tersebut. Bukan hal yang mudah dan sederhana untuk mengakomodasi semua KLK tersebut. Sebagai contoh, KLK 1 tentang: memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya, bagaimana mengemasnya dalam pembelajaran matematika?
            Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari SD dan MI sampai SMA dan MA, antara lain adalah.
1.    menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2.    memiliki kemampuan mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah
3.    menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan  matematika
4.    menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah
5.    memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.

    Rambu-rambu dalam KBK perlu dicermati secara mendalam, sebab dalam rambu rambu ini sudah sarat dengan  berbagai upaya agar potensi siswa dapat tergali dan dikembangkan secara menyeluruh. Sebagai contoh misalnya dalam kegiatan pembelajaran ada beberapa hal yang perlu menjadi diperhatikan seperti:

a.    Mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru agar siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu.
b.    Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika, yang mencakup masalah tertutup, mempunyai solusi tunggal, terbuka atau masalah dengan berbagai cara penyelesaian.
c.    Beberapa keterampilan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah adalah:
§  memahami soal: memahami dan mengidentifikasi apa fakta atau informasi yang diberikan,  apa yang ditanyakan, diminta untuk dicari, atau dibuktikan
§  memilih pendekatan atau strategi pemecahan: misalkan mengambarkan masalah dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan pengetahuan aljabar yang diketahui dan konsep yang relevan untuk membentuk model atau kalimat matematika.
§  menyelesaikan model: melakukan operasi hitung secara benar dalam menerapkan strategi, untuk mendapatkan solusi dari masalah.
§  menafsirkan solusi: memperkirakan dan memeriksa kebenaran jawaban, masuk akalnya jawaban, dan apakah memberikan pemecahan terhadap masalah semula.
d.    Dalam setiap pembelajaran, guru hendaknya memperhatikan penguasaan materi prasyarat yang diperlukan.
e.    Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya memulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah-masalah yang kontekstual, siswa secara bertahap, dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika.
            Terkait dengan penilaian ada beberapa kemampuan yang perlu diperhatikan dalam penilaian seperti:
(1)  Pemahaman konsep. Siswa mampu mendefinisikan konsep, mengidentifikasi dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep.
(2)  Prosedur. Siswa mampu mengenali prosedur atau proses  menghitung yang benar dan tidak benar.
(3)  Komunikasi. Siswa mampu menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan.
(4)  Penalaran. Siswa mampu memberikan alasan induktif dan deduktif sederhana.
(5)  Pemecahan masalah. Siswa mampu memahami masalah, memilih strategi penyelesaian, dan menyelesaikan masalah


BAGIAN 4
PARADIGMA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Paradigma ‘guru menjelaskan - murid mendengarkan’ dan paradigma ‘siswa aktif mengkonstruksi makna - guru membantu’ merupakan dua paradigma dalam proses belajar-mengajar matematika yang sangat berbeda satu sama lain. Menurut pengalaman dari sejumlah guru di Amerika Serikat, seperti yang diuraikan oleh Schiffer dan Fosnot (1993), mengubah paradigma yang dianut oleh seorang  guru dari paradigma yang pertama ke paradigma yang kedua bukan sesuatu hal yang mudah karena kebanyakan guru sudah terbiasa dengan paradigma yang pertama, dan mereka sendiripun pada waktu masih menjadi siswa sudah terbiasa dengan paradigma yang pertama.
Sungguh-sungguh diperlukan kemauan dan tekad yang kuat untuk bisa mengubah paradigma tersebut secara nyata. Pada buku yang ditulis oleh Schiffer dan Fosnot (1993) tersebut, diuraikan proses jatuh bangun dari beberapa guru yang berusaha sungguh-sungguh untuk menggunakan paradigma yang kedua, sekalipun mereka sendiri sebelumnya sudah sangat terbiasa dengan paradigma yang pertama. Dengan usaha yang keras, usaha para guru tersebut akhirnya berhasil mengubah paradigma yang mereka gunakan, dan perubahan paradigma tersebut memberikan manfaat yang positif bagi para siswa mereka, karena dengan penggunaan paradigma yang kedua tersebut, para siswa menjadi terbiasa mengeksplorasi secara aktif dan konstruktif konsep-konsep, prinsip-prinsip, prosedur-prosedur, dan soal-soal matematika (termasuk soal-soal yang non rutin), sehingga mereka merasa bahwa matematika adalah ‘milik’ mereka dan tidak terasa sulit, karena liku-likunya telah biasa mereka telusuri. Lebih jauh, hal tersebut menambah rasa percaya diri mereka dalam menghadapi materi-materi matematika yang baru dan soal-soal yang sebelumnya belum pernah mereka jumpai. Hal ini juga sangat membantu mereka pada waktu mereka menjumpai masalah-masalah dalam kehidupan mereka sehari-sehari; sehingga secara umum, kemampuan mereka dalam memecahkan masalah meningkat. Kemampuan memecahkan masalah ini akan sangat berguna pula dalam bidang-bidang di mana mereka nanti akan berkarya.
Dari hal ini tampak bahwa kemampuan matematis yang mereka peroleh di sekolah berguna bagi mereka secara keseluruhan. Ini mengandung arti pula bahwa dengan menggunakan cara belajar matematika yang aktif dan konstruktif tersebut, pembelajaran matematika yang terjadi dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara nyata.

Penerapan Cara Belajar Matematika secara Aktif dan Konstruktif 
Jika kita menginginkan agar pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita dapat sungguh-sungguh meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, kiranya cara belajar matematika yang aktif dan konstruktif juga perlu digunakan oleh para siswa kita. Seperti telah diuraikan oleh Schifter dan Fosnot, proses penggunaan cara tersebut memang membutuhkan kemauan yang kuat, mengingat para siswa dan para guru di Indonesia, seperti yang juga terjadi di banyak tempat lain di dunia, telah terbiasa dengan paradigma yang lama (guru menjelaskan - siswa mendengarkan dan mengikuti petunjuk guru), ditambah lagi dengan adanya faktor-faktor sosial-budaya yang berbeda dari yang ada di negara-negara lain. Akan tetapi, jika kita memang betul-betul ingin mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada dalam pendidikan matematika di negara kita, perubahan tersebut harus kita lakukan.
Berkaitan dengan paradigma pembelajaran matematika, para pakar (Somerset dan Suryanto, 1996; Schoenfeld, 1991; Wilson dalam Yuwono, 2000; Tom Goris, 1998; Soedjadi, 2001; Marpaung, 1999; dll) menyebutkan bahwa: (i) pembelajaran matematika yang selama ini dilaksanakan oleh guru adalah pendekatan konvensional,
yakni ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas atau mendasarkan pada “behaviorist” atau “strukturalist”, (ii) pengajaran matematika secara tradisional mengakibatkan siswa hanya bekerja secara prosedural dan memahami matematika tanpa penalaran, (iii) pembelajaran matematika yang berorientasi pada psikologi perilaku dan strukturalis, yang lebih menekankan hafalan dan drill merupakan penyiapan yang kurang baik untuk kerja profesional para siswa nantinya, (iv) kebanyakan guru mengajar dengan menggunakan buku paket sebagai “resep”, mereka mengajarkan matematika halaman per halaman sesuai dengan apa yang tertulis di buku paket, (v) strategi pembelajaran lebih didominasi oleh upaya untuk menyelesaikan materi pembelajaran dalam waktu yang tersedia, dan kurang adanya upaya agar terjadi proses dalam diri siswa untuk mencerna materi secara aktif dan konstruktif)
(ungkapan para pakar dalam mengkritisi paradigma lama tidak dimaksudkan  sebagai “vonis” bahwa pembelajaran matematika dengan paradigma lama tidak memberikan kontribusi apapun dalam pendidikan matematika, atau bahkan justru menenggelamkan potensi-potensi yang dimiliki siswa. Tetapi secara wajar dan proporsional dapatlah dicermati bahwa ada bagian-bagian tertentu dari paradigma lama tersebut yang perlu perubahan.  Bagian tertentu yang dapat dikatakan sangat penting dan perlu upaya yang seksama agar terjadi perubahan adalah cara sajian pelajaran dan suasana pembelajaran).

Berbagai uraian di atas menandakan bahwa diperlukan suatu usaha sungguh-sungguh untuk melakukan perbahan dari paradigma lama  ke paradigma baru. Beberapa aspek berikut dapat dijadikan wacana diskusi bahwa inovasi pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan melakukan perubahan dari sisi kiri ke sisi kanan pada tabel berikut.



Terpusat Guru





Terpusat Siswa

Transmisi pengetahuan

Pengembangan kognisi

Otoriter

   Demokratis

Inisiatif Guru
Inisiatif Siswa
Siswa Pasif
Siswa Aktif
Tabu melakukan kesalahan
Kesalahan bernilai paedagogis
Kewajiban
Kesadaran, kebutuhan
Orientasi hasil
Orientasi proses dan hasil
Cepat dan tergesa-gesa
Sabar dan menunggu
Layanan kelas
Layanan kelas dan individu
Penyeragaman
Pengakuan adanya perbedaan
Ekspositori,ceramah
Diskusi, variasi metode
Abstrak; Ingatan
Konkrit;Pemahaman;Aplikasi
Matematika Murni
Matematika sekolah
Motivasi eksternal
Motivasi internal
Sangat formal
Sedikit Informal
Sentralistik
Otonomi
Sangat Terstruktur
Fleksibel
Pengajar
Pendidik; Fasilitator; Pendamping
Kontak guru siswa berjarak
Kontak lebih dekat
Terikat kelas
Tidak hanya terikat kelas
Deduktif
Induktif; deduktif
Guru pelaksana kurikulum
Guru pengembang kurikulum
Evaluasi kurang bervariasi
Assesmen, Evaluasi bervariasi
Peran guru mendominasi
Peran melayani

Problem tidak “membumi”

Problem kontekstual-realistik




BAGIAN 3
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
BERDASARKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

A. KONSTRUKTIVISME
                                                                          
1. Pandangan Tentang Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
       Teori belajar kontruktivisme menyatakan bahwa siswa harus membangun pengetahuan di dalam benak mereka sendiri. Setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa diperoleh atau dikuasai oleh seseorang apabila orang itu secara aktif mengkontruksi pengetahuan atau kemampuan itu di dalam pikirannya.
2. Sekilas Tentang Sejarah Konstruktivisme
       Konstruktivisme terbagi dalam dua bagian, yaitu konstruktivisme psikologis dan konstruktivisme sosiologis. Konstruktivisme psikologis bertolak dari perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan konstruktivisme sosiologis lebih bertolak dari pandangan bahwa masyarakat yang membangun pengetahuan.
       Konstruktivisme psikologis berkembang dalam dua arah, yang lebih personal, individual, dan subyektif seperti Piaget dan pengikut-pengikutnya; dan yang lebih sosial seperti Vygotsky (socioculturalism). Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat (lingkungan secara kultural).
       Dalam proses pembentukan pengetahuan, baik dalam sudut pandang personal maupun sosiokultural sebenarnya sama-sama menekankan pentingnya keaktifan siswa dalam belajar, hanya yang satu lebih menekankan keaktifan individu, sedangkan yang lainnya lebih menekankan pentingnya lingkungan sosial-kultural.
       Dalam pembelajaran matematika sekolah, kedua pandangan tersebut saling melengkapi. Belajar matematika memerlukan proses pembentukan individual yang aktif tapi juga proses inkulturasi  dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal ini, Cobb (1994) menyarankan agar konstruktivisme personal dikombinasikan dengan  sosiokultural.
Konstruktivis Personal                                                                                                               
       Dalam sudut pandang/perspektif konstruktivis personal disoroti bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk skema (jalinan konsep yang ada dalam pikiran), mengembangkan skema, dan mengubah skema. Ia lebih menekankan bagaimana individu sendiri mengkonstruksi pengetahuan hasil dari berinteraksi dengan pengalaman dan obyek yang dihadapi, dan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksi, dalam membentuk pengetahuan matematisnya. 
       Implementasi perspektif di atas dalam pembelajaran sebagaimana diungkapkan Slavin (1994) adalah sebagai berikut (i) pemusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, bukan sekedar hasil yang diperoleh; guru harus memahami proses yang dilakukan siswa dalam sehingga sampai pada jawaban  suatu masalah yang ditanyakan. (ii) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan  aktif dalam kegiatan pembelajaran; guru dituntut untuk mempersiapkan beraneka ragam kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik, (iii) memaklumi akan adanya perbedaan individual, oleh karena itu guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu-individu dan kelompok kecil siswa.
       Dalam pembelajaran, Piaget menekankan pembelajaran melalui penemuan, pengalaman-pengalaman nyata dan memanipulasi langsung alat, bahan atau media belajar yang lain. Guru mempersiapkan lingkungan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang luas. Menurut Piaget, perkembangan kognitif bukan merupakan akumulasi dari kepingan informasi yang terpisah, namun lebih merupakan pengkonstruksian suatu kerangka mental oleh siswa untuk memahami lingkungan mereka, sehingga siswa bebas membangun pemahaman mereka sendiri.
Konstruktivis Sosiokultural
       Vygotsky meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak secara psikologis. Namun Vygotsky lebih memfokuskan perhatian kepada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan. Menurut Vygotsky belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Dia membedakan adanya dua pengertian, yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ini tidak terdefinisikan dan terangkai secara sistematis logis. Pengertian Ilmiah adalah pengertian yang didapat dari kelas. Pengertian ini adalah pengertian formal yang terdefinisikan secara logis dalam suatu sistem yang lebih luas. Dalam proses belajar terjadi perkembangan dari pengertian yang spontan ke yang lebih ilmiah (Fosnot, dalam Suparno 1996).
       Menurut Vygotsky, pengertian ilmiah itu tidak datang dalam bentuk yang jadi pada seorang anak. Pengertian itu mengalami perkembangan. Ini tergantung kepada tingkat kemampuan anak untuk menangkap suatu model pengertian yang lebih ilmiah. Dari proses belajar, kedua pengertian tersebut saling berelasi dan saling mempengaruhi. Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik (Cobb, 1996). Ia menekankan dialog dan komunikasi verbal dengan orang dewasa dalam perkembangan pengertian anak. Dalam interaksi verbal dengan “orang dewasa”, anak ditantang untuk lebih mengerti pengertian ilmiah dan mengembangkan pengertian spontan mereka. Itulah sebabnya banyak implikasi pendidikan yang membuat siswa berpartisipasi dengan aktivitas para ahli. Dalam interaksi dengan mereka itulah, para murid dirantang untuk mengkonstruksikan pengetahuanya lebih sesuai dengan konstruksi para ahli.
3. Beberapa Konsep Mendasar Dalam Kontruktivisme
 a. Scaffolding
      Scafollding dapat diartikan sebagai pemberian sejumlah bantuan kepada seorang siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada siswa tersebut untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1994). Scafollding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan untuk memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
b. Proses Top Down
       Pendekatan konstruktivitis dalam pengajaran lebih menekankan proses pengajaran secara top-down  dari pada  bottom-up. Top-down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan dan kemudian siswa memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. (Slavin, 1994).
c. Zone of Proximal Development (ZPD)
       ZPD atau zone of proximal development dimaknai sebagai “jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri), dengan tingkat perkembangan potensial (yang didefinisikan sebagai pemecahan kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu)” (Slavin, 1994). Siswa yang bekerja dalam ZPD mereka, berarti siswa tersebut tidak dapat menyelesaikan tugas-tugasnya, dan dapat terselesaikan jika mendapat bantuan dari teman sebaya atau orang dewasa.
d. Pembelajaran Kooperatif
       Vygotsky (Slavin, 1997) menyarankan agar dalam pembelajaran digunakan pendekatan pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan.
       Salah satu implikasi penting teori Vygotsky dalam pendidikan adalah perlunya kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD mereka. Menurut Slavin (1995) pendekatan konstruktivitis dalam pengajaran kelas yang menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan temannya.
       Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran yang penting, yaitu prestasi akademik, penerimaan akan penghargaan dan pengembangan keterampilan sosial. Meskipun pembelajaran kooperatif mencakup berbagai tujuan sosial, namun pembelajaran kooperatif dapat juga digunakan untuk meningkatkan prestasi akademik


4. Pembelajaran Matematika dalam Perspektif Konstruktivisme
       Prinsip-prinsip dalam pembelajaran yang berpaham konstruktivitis diantaranya adalah sebagai berikut
Ø  pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial,
Ø  pengetahuan tidak dapat dipindahkan dan guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar,
Ø  siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah,
Ø  guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus
       Terkait dengan masalah evaluasi dalam pembelajaran, dalam pandangan konstruktivis evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan yang terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata; menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar; evaluasi harus diintegrasikan ke dalam tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, bukan sebagai kegiatan yang terpisah.
       Tujuan pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah membangun pemahaman. Pemahaman memberi makna tentang apa yang dipelajari. Belajar menurut pandangan konstruktivis tidak ditekankan untuk memperoleh pengetahuan yang banyak tanpa pemahaman. Hudojo (1998) berpendapat bahwa pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah membantu siswa untuk membangun konsep/prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi, sehingga konsep/prinsip tersebut terbangun kembali, transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru.
       Ciri pembelajaran matematika secara konstruktivis adalah
Ø  siswa terlibat secara aktif dalam belajarnya,
Ø  siswa belajar materi matematika secara bermakna dalam bekerja dan berfikir,
Ø  siswa belajar bagaimana belajar itu,
Ø  informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi (materi) kompleks terjadi,
Ø  orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan,
Ø  berorientasi pada pemecahan masalah. 
       Selain bahan ajar yang disiapkan harus bermakna bagi kognitif siswa agar siswa terlibat secara emosional maupun sosial, dalam pembelajaran konstruktivis guru perlu  menciptakan lingkungan pembelajaran yang  kondusif.  
       Lingkungan pembelajaran matematika yang perlu diupayakan oleh guru dalam pembelajaran secara konstruktivis adalah sebagai berikut:
Ø  menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan;
Ø  menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara;
Ø  mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman kongkret, misalnya untuk memahami suatu konsep matematika melalui kenyataan dalam kehidupan sehari-hari;
Ø  mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial, yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang dengan orang lain atau lingkungannya, Misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, siswa-siswa;
Ø  memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lesan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif;
Ø  melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa mau belajar.
5.   Mengenal Dua Model Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan    Konstruktivisme
a. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
1.    Pengertian
       Model pembelajaran berdasarkan masalah adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan ketrampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri (Arends, 1997).
       Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah, serta mendapatkan pengetahuan dan konsep penting. Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan proses belajar, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keeterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar (Arends, 1997).
       Guru dalam model pembelajaran berdasarkan masalah berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan masalah, dan pemberi fasilitas penelitian. Selain itu, guru menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan aktivitas belajar siswa, baik secara individual maupun secara kelompok. Disini guru berperan sebagai pemberi rangsangan, pembimbing kegiatan siswa, dan penentu arah belajar siswa.
       Hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran berdasarkan masalah adalah memberikan siswa masalah yang berfungsi sebagai batu loncatan untuk proses inkuiri dan penemuan. Disini guru mengajukan masalah, membimbing dan memberikan petunjuk minimal kepada siswa dalam memecahkan masalah.
2.    Ciri-ciri Model pembelajaran Berdasarkan Masalah
a)  Pengajuan Masalah atau Pertanyaan
Pengaturan pembelajaran berdasarkan masalah berkisar pada masalah atau pertanyaan yang penting bagi siswa maupun masyarakat. Menurut Arends (1997), pertanyaan dan masalah yang diajukan itu haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut :
1.    Autentik:  masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa daripada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
2.    Jelas: masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
3.    Mudah dipahami: masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu, masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
4.    Luas dan Sesuai dengan Tujuan Pembelajaran: masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
5.    Bermanfaat: masalah yang disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik bagi siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
b)  Keterkaitannya dengan Berbagai Disiplin Ilmu
Masalah yang diajukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah hendaknya mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin ilmu.
c)  Penyelidikan yang Autentik
Penyelidikan yang diperlukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah bersifat autentik. Selain itu, penyelidikan diperlukan untuk mencari penyelesaian masalah yang bersifat nyata. Siswa menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan dan meramalkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen, membuat kesimpulan
d) Menghasilkan dan memamerkan hasil/karya
Pada pembelajaran berdasarkan masalah, siswa bertugas menyusun hasil penelitiannya dalam bentuk karya (karya tulis atau penyelesaian) dan memamerkan hasil karyanya. Artinya, hasil penyelesaian masalah siswa ditampilkan atau dibuatkan laporannya.
d)  Kolaborasi
Pada pembelajaran berdasarkan masalah, tugas-tugas belajar berupa masalah harus diselesaikan bersama-sama antar siswa dengan siswa, baik  dalam kelompok kecil maupun kelompok besar, dan bersama-sama antar siswa dengan guru.
3.     Langkah-langkah Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
  Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari lima langkah (Arends, 1997). Kelima langkah itu dimulai dengan orientasi guru dan siswa pada masalah serta diakhiri dengan penyajian dan analisis kerja siswa. Kelima langkah itu adalah :

Langkah-langkah Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Kegiatan yang dilakukan guru

1.   Orientasi siswa pada masalah

F      Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, dan memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah.
2.   Mengorganisir siswa dalam belajar

F      Guru membagi siswa kedalam kelompok.
F      Guru membantu siswa dalam mendefi-nisikan dan mengorganisir tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.
3.   Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok.

F      Guru mendorong siswa untuk mengum-pulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4.   Mengembangkan dan menyajikan hasil  karya

F      Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, vodeo dan model dan membantu mereka membagi tugas dengan temannya.
5.   Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

F      Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang digunakan.


4.    Pelaksanaan Model pembelajaran Berdasarkan Masalah
   Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah meliputi beberapa kegiatan berikut ini.
Pendahuluan
            Pada kegiatan ini guru mengingatkan siswa tentang materi pelajaran yang lalu, memotivasi siswa, mengkomunikasikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai secara rinci dan jelas, dan menjelaskan model pembelajaran yang akan dijalani.
Kegiatan Inti
            Guru bersama siswa membahas konsep/teori yang diperlukan dalam kegiatan pemecahan masalah dan membahas soal-soal yang belum tuntas. Selanjutnya guru melaksanakan fase-fase pembelajaran berdasarkan masalah.

Fase I   Mengorientasikan Siswa pada Masalah.

              Pada kegiatan ini, guru mengajukan masalah kepada siswa dan meminta siswa mengemukakan ide mereka untuk memecahkan masalah tersebut.

Fase 2. Mengorganisir Siswa untuk Belajar.
Pada kegiatan ini, siswa dikelompokkan secara bervariasi dengan memperhatikan kemampuan, rasial, etnis dan jenis kelamin yang didasarkan pada tujuan yang ditetapkan. Jika terdapat perbedaan kelompok, maka guru dapat memberikan tanda pada kelompok itu. jika diperlukan, guru dapat membagi kelompok itu berdasarkan kesepakatan bersama antara siswa dengan guru.

        Fase 3. Membantu Siswa Memecahkan Masalah

              Pada kegiatan ini, siswa melakukan penyelidikan / pemecahan secara bebas, baik kelompok besar maupun kelompok kecil. Dalam kegiatan ini tyugas guru mendorong siswa mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen aktual, hingga mereka benar-benar mengerti dimensi situasi permasalahannya. Tujuannya adalah agar siswa dalam mengumpulkan informasi cukup untuk mengembangkan dan menyusun ide-idenya sendiri. Demikian pula, guru harus banyak membaca masalah pada berbagai buku sumber yang berguna membantu siswa mengumpulkan informasi, mengajukan permasalahan / pertanyaan yang dapat dipikirkan siswa, dan memberikan berbagai jenis informasi yang diperlukan siswa dalam menjelajah dan menemukan penyelesaian.
  Fase 4.  Membantu Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Pemecahan  Masalah.
              Pada kegiatan ini, guru menyuruh salah seorang anggota kelompok untuk mempresentasikan hasil pemecahan masalah kelompok dan membantu siswa jika mereka mengalami kesulitan. Kegiatan ini berguna untuk mengetahui hasil sementara pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan.
Fase 5. Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan Masalah
             Pada akhir kegiatan ini, guru membantu menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir siswa. Sedangkan siswa menyusun kembali hasil pemikiran dan kegiatan yang dilampaui pada setiap tahap-tahap pembelajaran.

 


Penutup

Guru membimbing siswa menyimpulkan pembelajaran dan memberikan tugas untuk diselesaikan di rumah.


b. Model Pembelajaran Interaktif
     Pembelajaran interaktif didasarkan pada dua premis mayor, yaitu :
1.   Pemahaman berkembang sebagai suatu proses informasi dan mengkonstruksi ide-ide secara mental.
2.   Pemecahan masalah sangat penting untuk menstimulasi pikiran.
     Pemecahan masalah dikembangkan melalui :
F      Pertanyaan open ended yang memberikan petunjuk untuk menguji dan menyusun kembali apa yang diketahui.
F      Aktivitas yang meliputi interpretasi pemikiran dari berbagai kegiatan, termasuk menginvestigasi dan mengeksplorasi.
F      Pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan pertimbangan yang mendalam untuk dijawab.
Holmes (1995) mengklasifikasikan pelaksanaan pembelajaran interaktif dalam lima tahap, yaitu :
(1)  introduction (pengantar),
(2) activity/problem solving (melakukan aktivitas atau memecahkan masalah), (3)  sharing and discussing (saling membagi dan berdiskusi),
(4)  summarizing (meringkas/menarik kesimpulan),
(5)  assessment of learning of unit material (menilai belajar unit materi). 
Fase dalam model pembelajaran interaktif
Fase pertama
Guru memulai pelajaran dengan mengorganisasi kelas, apakah siswa diminta untuk belajar secara individual ataukah belajar secara berkelompok, selanjutnya di fase ini juga guru menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan siswa dalam proses pembelajaran, bisa berupa menyelesaikan masalah, melanjutkan mempelajari suatu topik, mengerjakan tugas (proyek) ataupun melakukan aktivitas-aktivitas lainnya yang dapat membantu siswa memahami suatu topik pelajaran. Guru juga dapat meminta siswa untuk mencatat hasil dari aktivitas yang mereka lakukan.
Fase kedua
Siswa mulai melaksanakan aktivitas yang telah ditentukan guru pada fase pertama, siswa dapat bekerja secara individual ataupun berkelompok tergantung pada pengorganisasian kelas yang dilakukan guru di fase pertama. Di fase ini guru dapat memberikan bimbingan atau bantuan terbatas kepada siswa dalam mengerjakan tugasnya, tanpa memberikan jawaban masalah secara langsung kepada siswa.
Fase ketiga
Presentasi hasil kerja, bisa berupa hasil kerja kelompok ataupun hasil kerja individual. Fase ini merupakan fase interaksi kelas. Beberapa siswa (dapat mewakili kelompok, jika pada fase kedua dilakukan secara berkelompok) diminta untuk menampilkan dan menjelaskan hasil pekerjaannya kepada teman-teman sekelasnya, siswa-siswa lainnya diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan (pertanyaan atau komentar) terhadap hasil pekerjaan temannya. Guru dapat pula mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk membantu siswa lebih memahami topik yang sedang mereka pelajari.
Fase keempat
Fase menarik kesimpulan. Pada fase ini siswa diminta untuk memperhatikan kembali hasil pekerjaannya di fase kedua dan memperbaikinya jika ternyata setelah dilakukan diskusi kelas terdapat kesalahan pada pekerjaan mereka. Di fase ini juga, guru dapat mengecek kembali pemahaman siswa dengan memberikan beberapa permasalahan ataupun soal latihan yang dapat dijawab secara lisan ataupun tulisan. Siswa juga dapat mengajukan permasalahan ataupun pertanyaan jika ada hal-hal yang kurang dipahaminya dari topik yang sedang dipelajari. Di akhir fase ini guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang apa yang telah dipelajarinya.
Fase kelima
Fase menilai belajar unit materi. Walaupun fase ini adalah fase terakhir, tetapi bukan berarti penilaian hanya dilakukan pada akhir pembelajaran, tetapi penilaian dilakukan sebelum, selama dan setelah pembelajaran dilaksanakan. Di awal pembelajaran penilaian dapat dilakukan dengan memberikan pretes. Penilaian selama pembelajaran dapat dilakukan melalui observasi selama siswa mengikuti proses pembelajaran, wawancara dengan siswa, menilai hasil pekerjaan siswa, dan juga dapat dilengkapi dengan portofolio dan jurnal siswa
   Dalam pembelajaran interaktif terdapat dua hal yang ditekankan dalam proses belajar, yang pertama adalah siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan melakukan aktivitas yang disediakan oleh guru, bisa berupa pemecahan masalah, melakukan eksperimen, menginvestigasi ataupun aktivitas lainnya dan yang kedua adalah siswa mengkomunikasikan dengan yang lainnya.
       Pada fase melakukan aktivitas atau memecahkan masalah, guru memberikan tugas kepada siswa yang memancing siswa untuk berpikir dan mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang akan dipelajari. Di fase ini terjadi interaksi antar siswa dalam kelompok-kelompok kecil, mereka saling bertukar ide dalam memecahkan masalah, siswa yang lemah dapat bertanya kepada siswa yang lebih pandai.
       Melalui fase ini diharapkan siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dipelajarinya. Selain itu melalui fase ini diharapkan pula siswa terbiasa untuk mencoba menyelesaikan masalah matematika sendiri tanpa bergantung penuh pada guru, atau dengan kata lain dalam pembelajaran ini siswa dilatih untuk belajar mandiri sehingga pengetahuan yang dipahaminya tidak hanya sebatas pada apa yang diberikan guru.
Selanjutnya pada fase saling membagi dan berdiskusi, siswa dituntut untuk menjelaskan hasil dari aktivitas atau pemecahan masalah yang mereka lakukan sendiri atau berkelompok melalui diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Siswa tidak akan memahami suatu pelajaran dengan baik ketika mereka hanya menuliskan jawaban dari suatu permasalahan, tetapi mereka juga harus siap menjelaskan proses berpikir mereka.
Vygotsky berpandangan bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya akan muncul melalui percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi terserap ke dalam individu tersebut. Pernyataan ini mengandung makna bahwa konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam matematika akan mudah dipahami oleh siswa jika mereka belajar dan bekerja sama dengan teman-temannya serta mengkomunikasikan hasil pekerjaan mereka. Di fase ini seluruh siswa terlibat dalam diskusi kelas, sehingga terjadi komunikasi antar siswa.

BAGIAN 4
PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA
SECARA KONTEKSTUAL
(CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)

1. Tujuan dan Pengertian Pembelajaran Kontekstual
       Pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks lainnya.
       Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks keseharian siswa di dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang kuat dan  mendalam sehingga siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikannya.
      Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan suatu sistem pengajaran yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa akan belajar jika mereka mengetahui makna dan kegunaan dari materi akademisnya, dan mengetahui makna kegiatan mereka di sekolah. Selain itu siswa akan belajar jika mereka mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan sebelumnya dan pengalaman mereka sendiri.
      CTL merupakan suatu konsepsi yang membantu guru untuk mengaitkan konten/materi mata pelajaran dengan situasi nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
       CTL menekankan pada berfikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan, dan pensintesaan informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan.
2. Enam Kunci Dasar Pembelajaran Konstekstual
       The Nortwest Regional Education Laboratory USA mengidentifikasi adanya 6 kunci dasar dari pembelajaran kontekstual, yakni:
(1)  Pembelajaran bermakna
      Dalam pembelajaran bermakna, pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan sangat terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupan di masa mendatang. Prinsip ini sejalan dengan prinsip pembelajaran bermakna dari Ausubel.
(2)  Penerapan pengetahuan
      Jika siswa telah memahami apa yang dipelajari, maka siswa dapat menerapkannya dalam tatanan kehidupan.
(3)  Berpikir tingkat tinggi
      Siswa diminta untuk berpikir kritis dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahkan suatu masalah
(4)  Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan kepada standar
      Isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, nasional dan perkembangan IPTEK dan dunia kerja
(5)  Responsif terhadap budaya
      Guru harus memahami dan menghormati nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, sesama rekan guru dan masyarakat tempat ia mendidik. Berbagai macam  budaya mempengaruhi pembelajaran. Setidaknya ada empat perspektif yang harus  diperhatikan:  individu siswa, kelompok siswa, tatanan sekolah dan tatanan masyarakat.

(6)  Penilaian autentik
      Berbagai macam strategi penilaian digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa yang sesunggguhnya. Strategi tersebut meliputi: penilaian atas proyek dan kegiatan siswa,  pengetahuan portofolio,  rubrik, ceklis, dan panduan pengamatan disamping memberikan kesempatan kepada siswa untuk ikut aktif berperan serta dalam menilai pembelajaran mereka sendiri.
3. Indikator Kualitas CTL
         Panduan berikut digunakan oleh proyek CTL di University of Washington  untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan kualitas CTL.
   Penerapan Pengetahuan
   Apakah siswa menerapkan apa yang dipelajari kepada tatanan-tatanan dan fungsi-fungsi lain pada masa sekarang dan masa depan?
   Pengalaman-pengalaman dunia nyata
   Apakah siswa secara aktif terlibat dalam pengalaman-pengalaman yang memungkinkan mereka untuk mensimulasi dan menggunakan materi/konten yang dipelajari dalam situasi alamiah dan kehidupan nyata?
   Pembelajaran bermakna
Apakah siswa terlibat secara aktif dalam pengalaman-pengalaman dunia nyata yang memotivasi mereka untuk menghubungkan persepsi, nilai dan makna pribadi dengan konten yang dipelajari? Apakah pembelajaran dipersepsi sebagai relevan dengan kehidupan mereka?
Berfikir tingkat lebih tinggi
   Apakah siswa menggunakan pemikiran kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data,  memahami isu, atau memecahkan masalah?
   Responsif terhadap budaya
   Apakah siswa memahami dan menghormati nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan teman bergaul, tatanan sekolah, dan masyarakat lebih luas?
   Penilaian autentik
   Apakah siswa terlibat secara aktif dalam berbagai macam tehnik penilaian yang memberi kesempatan mereka untuk mendemonstrasikan pencapaian materi pembelajaran sesuai dengan kondisi dunia nyata dan standar?


4. Strategi-strategi pengajaran yang sesuai dengan CTL
       Beberapa strategi berikut menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang sesuai dengan CTL.
Pengajaran Autentik
Pengajaran autentik adalah pengajaran yang memungkinkan siswa belajar dalam konteks bermakna. Strategi ini mengutamakan ketrampilan berfikir dan pemecahan masalah yang merupakan ketrampilan penting dalam tatanan kehidupan nyata.
Pembelajaran Berbasis-Inquiri
Pembelajaran berbasis inquiri merupakan strategi pembelajaran yang berpola pada metode-metode sains dan memberikan kesempatan siswa untuk  pembelajaran bermakna. Suatu masalah diajukan dan metode ilmiah digunakan untuk memecahkan masalah tersebut
Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berfikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, dan untuk memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep esensial.
Pembelajaran Berbasis Kerja
Pembelajaran berbasis kerja adalah suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari konten mata pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana konten itu digunakan di tempat kerja.
       Sedangkan  Blancard (M.Nur, 2001) mengidentifikasi enam strategi CTL berikut
Ø  Menekankan pada pemecahan masalah
Ø  Menyadari kebutuhan akan pengajaran dan pembelajaran yang terjadi dalam berbagai konteks seperti di rumah,masyarakat, dan pekerjaan.
Ø  Mengajar siswa memonitor dan mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sehingga mereka menjadi pembelajar yang mandiri
Ø  Mengkaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda
Ø  Mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama
Ø  Menerapkan penilaian autentik
5.   Masalah dan Tugas yang memenuhi CTL menurut CMP (Connected        Mathematics Project)
       Dalam pandangan CMP,  tugas atau masalah memenuhi CTL apabila tugas tersebut mendukung sebagian atau seluruh indikator berikut.
Ø  Siswa dapat mendekati masalah tersebut dalam berbagai macam cara dan menggunakan berbagai strategi pemecahan yang berbeda
Ø  Masalah tersebut dapat memiliki pemecahan berbeda atau memungkinkan diambilnya keputusan atau posisi-posisi berbeda dan kemudian dipertahankan
Ø  Masalah tersebut mendorong keterlibatan dan diskusi siswa
Ø  Masalah membutuhkan berfikir tingkat lebih tinggi dan pemecahan masalah
Ø  Masalah tersebut menyumbang pada pengembangan konsep siswa
Ø  Masalah tersebut mengembangkan ketrampilan penggunaan matematika secara tuntas
Ø  Masalah tersebut dapat menciptakan suatu kesempatan bagi guru untuk menilai siswanya sedang belajar apa dan dimana siswa menemui kesulitan
Ø  Masalah tersebut menghubungkan pada ide-ide matematika dan penerapan penting lainnya.
Ø  6. Strategi  guru dalam menerapkan pembelajaran kontekstual
       CORD (Center for Occupational Research and Development ) mengemukakan bahwa terdapat 5 strategi bagi guru dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat dengan REACT, yaitu
Relating:
Belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata
Experiencing:
Belajar ditekankan kepda penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention)
Applying:
Belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan di dalam konteks pemanfaatannya.
Cooperating:
Belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama, dsb
Tranferring:
Belajar melalui pemanfaatan pengetahuan didalam situasi atau konteks baru.


BAGIAN 5
RME (Realistyc  Mathematics Education)

       RME atau Realistic Mathematics Education dapat pula disebut sebagai salah satu bentuk CTL. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari 3 hal berikut yakni (i) 6 kunci dasar pembelajaran kontekstual, (ii) indikator kualitas CTL, dan (iii)  strategi pengajaran yang sesuai dengan CTL, sudah nampak dalam prinsip dan karakteristik RME.
       Pada tahun 1973, Freudenthal memperkenalkan suatu model baru dalam pembelajaran matematika yang akhirnya dikenal dengan nama RME (Realistic Mathematics Education) atau  diistilahkan sebagai Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
       PMR awalnya dikembangkan di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada konsep Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas manusia. Dengan ide utamanya adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Usaha untuk membangun kembali ide dan konsep matematika tersebut melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik. Realistik dalam pengertian bahwa tidak hanya situasi yang ada di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang dapat mereka bayangkan/pikirkan (Heuvel, 1998).
       Pendekatan dalam PMR bertolak dari masalah-masalah kontektual, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, anak bebas mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya, siswa dengan bebas mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu membandingkan ide-ide tersebut dan membimbing siswa mengambil keputusan tentang ide terbaik untuk mereka.
       Hasil penelitian di Belanda memperlihatkan bahwa PMR telah menunjukan hasil yang memuaskan (Becher & Selter, 1996). Bahkan Beaton (1996) merujuk pada laporan TIMSS (Third International Mathematics and Science Study) melaporkan bahwa berdasar penilaian TIMSS, siswa Belanda memperoleh hasil yang memuaskan baik dalam ketrampilan komputasi maupun kemampuan pemecahan masalah. Dilaporkan oleh beberapa literatur (Streefland, 1991; Gravemeijer, 1994, 1997; dan Romberg & de Lange, 1998) bahwa PMR berpotensi dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika.
       Kisah sukses Negeri Belanda menarik perhatian National Science Foundation (NSF) di AS untuk mendanai serangkaian inisiatif pengembangan. Salah satunya adalah Mathematics in Context (MiC), yang merupakan kerjasama antara Pusat Penelitian Kependidikan di Universitas Winconsin Madison dengan Freudenthal Institute. Burril (1996) melaporkan bahwa siswa yang diajar dengan bahan ajar yang didesain oleh MiC memperoleh kemajuan yang berarti.
       Di Michigan State University juga dikembangkan bahan ajar matematika yang dinamai Connected Mathematics (CM). CM ini dikembangkan dengan pokok pikiran yang banyak persamaannya dengan PMR (Zawojewski, dkk, 1999). Menurut laporan Project 2061, dua terbaik dari bahan ajar dan model pembelajaran matematika di AS, diraih oleh CM pada peringkat pertama, sedangkan MiC di peringka.

Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut (Hadi, 1999)
Ø  Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajarnya selanjutnya;
Ø  Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
Ø  Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
Ø  Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
Ø  Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
       Titik awal proses belajar dengan pendekatan matematika realistik menekankan pada konsepsi yang sudah dikenal oleh siswa. Setiap siswa mempunyai konsep awal tentang ide-ide matematika. Setelah siswa terlibat secara bermakna dalam proses belajar, maka proses tersebut dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi. Pada proses pembentukan pengetahuan baru tersebut, siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. Peran guru hanya fasilitator belajar. Idealnya, guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan real.
       Upaya mengaktifkan siswa dapat diwujudkan dengan cara (i) mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses mengajar belajar, dan (ii) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh sense siswa. Pengoptimalan seluruh sense siswa sangat terkait dengan bagaimana siswa merespon setiap persoalan yang dimunculkan guru dalam kelas, baik respon secara lesan, tertulis atau bentuk-bentuk representasi lain seperti demonstrasi. Selain itu untuk mengoptimalkan keikutsertaan seluruh sense siswa juga diperlukan komunitas matematika yang kondusif, dalam arti bahwa lingkungan belajar yang mempercakapkan tentang matematika tersebut harus mampu membangkitkan setiap siswa untuk berpartisipasi aktif.

PRINSIP UTAMA PMR

a. Penemuan Terbimbing dan Proses Matematisasi yang kian meningkat
       Melalui topik-topik yang disajikan siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang “sama” sebagaimana konsep matematika ditemukan. Masalah kontekstual yang dijadikan bahan serta area aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata. Dan selanjutnya dijadikan dasar untuk berangkat dari tingkat belajar matematika secara riil ke tingkat belajar matematika secara formal.
b.  Fenomena Didaktik
       Masalah kontekstual yang dipilih atau topik-topik matematika yang disajikan harus didasarkan atas dua pertimbangan yakni aplikasinya serta kontribusinya untuk pengembangan konsep matematika selanjutnya.
c.  Pembentukan Model oleh Siswa Sendiri
       Pembentukan model oleh siswa sendiri merupakan jembatan bagi siswa. Model ini membawa mereka dari situasi real ke situasi konkrit atau dari informal matematika ke formal matematika. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model suatu situasi yang dekat dengan alam siswa. Melalui proses yang terjadi dalam pembelajaran, pada akhirnya akan menjadi pengetahuan secara formal matematika.

KARAKTERISTIK PMR

(I). Menggunakan masalah konstekstual (the use of context)
Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual (dunia nyata), tidak dimulai dari sistem formal.  Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang “dikenali” oleh siswa.
(2). Menggunakan model (use models, bridging by vertical instrument)
Istilah model berkaitan dengan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan sendiri oleh siswa. Sewaktu mengerjakan masalah kontekstual, diharapkan siswa mengembangkan model mereka sendiri.
(3) Menggunakan kontribusi siswa (students constribution)
Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan datang dari konstruksi dan produksi siswa sendiri, yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka kearah yang lebih formal. Streefland (1991) menekankan bahwa dengan produksi dan konstruksi, siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka sendiri anggap penting dalam proses belajar mereka.
(4). Interaktivitas (interactivity)
Interaksi antar siswa dan dengan guru merupakan hal penting dalam PMR. Guru harus selalu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka sendiri melalui proses belajar yang interaktif, seperti presentasi individu, kerja kelompok, diskusi kelompok, maupun diskusi kelas Negosiasi, intervensi, kooperatif dan mengevaluasi sesama siswa dan juga dengan guru adalah faktor penting dalam proses belajar mengajar. Siswa bebas untuk bertanya, menyatakan persetujuan atau penolakan pendapat temannya, dan menarik kesimpulan.
(5).Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (intertwining)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, biasanya pembahasan                suatu topik tercakup dalam beberapa konsep yang berkaitan, oleh karena itu   keterkaitan dan keintegrasian antar topik (unit pelajaran) harus dieksploitasi untuk mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang lebih bermakna.

 MENDESAIN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

       Untuk mendesain suatu model pembelajaran berdasarkan pendekatan realistik, model tersebut harus merepresentasikan karakteristik PMR baik pada tujuan, materi, metode dan evaluasi. Dengan rambu-rambu sebagai berikut.
Tujuan. Tujuan haruslah mencakup ketiga level tujuan dalam PMR yakni level rendah, menengah dan atas. Dua tujuan terakhir, menekankan pada kemampuan berargumentasi, berkomunikasi dan pembentukan sikap kritis.
Materi. Desain suatu materi yang sangat terbuka untuk dapat didiskusikan di kelas; yang berangkat dari suatu situasi dalam realitas, berangkat dari konteks yang berarti dalam kehidupan siswa.
Aktivitas. Aktivitas siswa harus diatur sehingga mereka dapat berinteraksi sesamanya. Berdiskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi ini siswa mempunyai kesempatan untuk bekerja, berfikir dan berkomunikasi dengan menggunakan matematika. Peranan guru hanya sebatas fasilitator atau pembimbing.
Evaluasi. Materi evaluasi dibuat dalam bentuk ‘open question’ yakni pertanyaan terbuka, pertanyaan yang jawabnya tidak tunggal; yang memancing siswa untuk menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi atau beragam jawaban (free productions).
CIRI PEMBELAJARAN YANG BERORIENTASI  PMR
·   Siswa diharapkan membangun konsep dan struktur matematika bermula dari intuisi mereka masing-masing;
·   Pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal yang konkrit; diawali dari pengalaman siswa serta berasal dari lingkungan sekitar siswa; diharapkan siswa tertarik terhadap aktivitas matematika tersebut; siswa belajar dari pengalamannya sendiri bukan pengalaman gurunya;
·   Pembelajaran didesain dan diawali dari pemecahan masalah terhadap masalah kontekstual yang ada di sekitar siswa atau yang dapat dipikirkan siswa;
·   Selama proses menuju ke arah matematika yang lebih formal, diharapkan siswa mengkonstruksi gagasannya sendiri, menemukan solusi suatu masalah, dan membangun atau memperoleh suatu konsep secara mandiri, tidak perlu sama antar siswa satu dengan siswa lainnya bahkan dengan gurunya sekalipun;
·   Pembelajaran matematika tidak hanya memberi penekanan pada komputasi, serta mementingkan langkah prosedural (algoritmis) serta drill;
·   Penekanan lebih pada pemahaman yang mendalam pada konsep dan pemecahan masalah; dengan penyelesaian masalah yang tidak rutin dan mungkin jawabannya tidak tunggal;
·   Siswa belajar matematika dengan pemahaman, membangun secara aktif pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan awal;.
KEKUATAN / KEUNGGULAN PMR
1.    Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia
2.    Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa.
3.    Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian sesuatu masalah tidak harus tunggal, dan tidak perlu sama antara sesama siswa bahkan dengan gurunyapun.
4.    Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama. Tanpa kemauan menjalani proses tersebut, pembelajaran tidak akan bermakna.
5.    PMR memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran yang lain yang dianggap “unggul” seperti pendekatan pemecahan masalah, dll
6.    Pendekatan PMR yang dikembangkan oleh tim Freundenthal Institute di Belanda bersifat lengkap (menyeluruh), mendetail dan operasional.

SUMBER BACAAN
Asikin. M. 2001. Matematika Realistik: Paradigma Baru Pembelajaran Matematika dan Upaya Peningkatan “Mathematical Communication” Makalah Seminar. Disajikan dalam Seminar Nasional Matematika di UNY Yogya, 21 April.
Asikin. 2001. Kurikulum Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah: Implikasinya Terhadap Pengadaan Buku Pelajaran. Makalah Seminar. Disajikan dalam Seminar Nasional Problematika Pendidikan Dalam Era Otonomi Daerah di UNESA Surabaya, 19 Mei.
Asikin, 2001. Paradigma Pendidikan Masa Kini Untuk Menyongsong Pendidikan Masa Depan. Makalah disajikan dalam forum silaturahim menyambut mahasiswa baru program pascasarjana UNESA. 5 September.
Arend, Richard. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw Hill
Annette & Sue. 1999. Assessing Problem Solving Thought Mathematics Teaching in Middle School. Mathematics Teaching in the Middle School. Volume 4 No 5 Februari. Hal 305-311
Atweh Bill. 1998. The Construction of Social Context of Mathematics Classroom: A Sociolinguistic Analysis. Journal for Research in Mathematics Education. 29 (1): Hal  63-82.
Baroody. A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating. Macmillan Publising, New York.
Beaton, A. E. (1996). Mathematics Achievement in The Middle School Years. Boston: TIMSS International Study Center.
Burril, J. 1997. Field Test Report: Mathematics in contex Boosts Test Scores. WCER Highlighs, Vol. 8 No. 3.
Buletin Educational Innovation and Information Nomor 97-105: IBE           
Cai Jinfa & Patricia. 2000. Fostering Mathematical Thinking through Multiple Solutions. Mathematics Teaching in the Middle School. Volume 5 No 8 April 2000.www.nctm.org/mtms/2000/04/index.htm, diakses 8 April 2001.
Cobb, Paul. 1997. Instructional Design and Reforma: A Plea for Developmental Research in Contex. . In Beishuizein, Gravemeijer & van Leishout (Eds.). The Role Of Contexts and Models in The Development of Mathematical Strategies and Procedures. CD-b Series On Research And Mathematics Education. Freudenthal Institute Utrecht Belanda.
Cobb, Yackel & Wood. 1992. A Contructivist alternative to the representational view of Mind in Mathematics Education. Journal for Research in Mathematics Education. 23: Hal  2-33.
De Lange, J. 1987. Mathematics insight and meaning. OW&OC. Utrecht: University Press.
De Lange, J. 1995. Assessment: no change without problems, In Romberg, TA. (Ed). Reform in School Mathematics and authentic assessment. New York: Sunny Press.
Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dondrecht: Reidl Publishing.
Gravemeijer, K. 1994. Educational Development and Developmental Research in Mathematics Education. Journal for Research in Mathematics Education. 25: Hal  443-471.
Gravemeijer, K. 1997. Instructional Design for Reform in Mathematics Education. In Beishuizein, Gravemeijer & van Leishout (Eds.). The Role Of Contexts and Models in The Development of Mathematical Strategies and Procedures. CD-b Series On Research And Mathematics Education. Freudenthal Institute Utrecht Belanda.
IBE. 2000. Improving students achievement in Mathematics. Educational Practice Series-4. IBE.UNESCO.
Lappan.G. 2002. Connected Mathematics Project: Research and Evaluation Summary
National Council of Teachers of Mathematics. 1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM.
National Council of Teachers of Mathemaics. 1990. “Contructivist Views on The Teaching ang Learning of Mathematics”. Journal for Research in Mathematics Education. Reston, Virginia:NCTM.
National Council of Teachers of Mathematics. 2000a. Principles and Standards for School Mathematics. NCTM: Reston VA.
National Council of Teachers of Mathematics. 2000b. Learning Mathematics For A New Century. 2000Yearbook NCTM: Reston VA.
National Science Foundation (NSF). 1998. Mathematics in Context: Teachers Resource and Implementation Guide. Chicago: Encyclopedia Britanica Ed. Co.
National Science Foundation. 2000. The Core-Plus Mathematics Project (CPMP), (Online), www.mich.edu/cpmp/front.html, Diakses 21 Agustus 2000).
Orton, Anthony. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practice. Cassell Education Series. London.
Schoenfeld, A.H. 1991. On Mathematics as Sense Making: An Informal Attach on the Unfornute Divorce of Formal and Informal Mathematics. In J.F Voss, D.N. Perkins & J.W Segal (Eds.) Informal Reasoning and Education. 311-344. Hillsdale NJ: Erlbaum.
Seegers,G & Gravemeijer, K. 1997. Implementation and Effect Of Realistic Curricula. In Beishuizein, Gravemeijer & van Leishout (Eds.). The Role Of Contexts and Models in The Development of Mathematical Strategies and Procedures. CD-b Series On Research And Mathematics Education. Freudenthal Institute Utrecht Belanda.
Simon. M.A. 1995. Reconstructing mathematics pedagogy from a constructivist perspective. Journal for Research in Mathematics Education. 26, 115-145.
Slavin, Robert. 1994. Educational Psychology: Theories and Practice. Fourth Edityion. Massachusetts: Allyn and Bacon Publisher.
Slettenhaar, 2000, Adapting Realistic Mathematics Education in The Indonesia Context. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia. (Prosiding Konferensi Nasional Matematika X, ITB, 17-24 Juli 2000.
Streefland,L. 1991. Fraction in Realistics Mathematics Education A Paradigm of Developmental Research. Utrecht : CD-b Press. Streeflands (ed.) Realistics Mathematics Education in Primary School. Utrecht : CD-b Press.
Tom Gorris. 1998. Reforms in secondary math education in the Netherland. www.fiuu.nl/en/indexpublicaties. Html. Diakses 24 Maret 2001.
UNESCO. 1998. Education For the Twenty-first century: issues and prospects. Unesco Publishing
Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1998. Realistics Mathematics Education Work in Progress. Makalah disampaikan dalam NORMA-lecture di Kristiansand, Norwegia : June, 5-9 1998.
          . 1999. Mathematics Educaton in The Netherlands: A guided four (www. fiuu.nl/en/indexPublicaties/html). Diakses 20 Februari 2001.
Verschafel, L.&De Corte, E. 1997. Teaching Realistics Mathematical Modeling in the Elementary School: A Teaching Experiment with Fifth Graders. Journal for Research in Mathematics Volume 28 No 5, November: 577-601.
Zawojewski, J.S, Robinson, M, & Hoover, M. 1999. Reflections on Developing Mathematics and the Connected Mathematics Project. Journal for Mathematics Teaching in the Middle School. 4: 324-330.
Lappan.G. 2002. Connected Mathematics Project. Research and Evaluation Summary.
National Council of Teachers of Mathematics. 1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM.
National Council of Teachers of Mathematics. 2000a. Principles and Standards for School Mathematics. NCTM: Reston VA.
National Council of Teachers of Mathematics. 2000b. Learning Mathematics For A New Century. 2000Yearbook NCTM: Reston VA
National Science Foundation (NSF). 1998. Mathematics in Context: Teachers Resource and Implementation Guide. Chicago: Encyclopedia Britanica Ed. Co.
Soedjadi. 2000. Kurikulum Matematika Sekolah Masa Depan. Makalah Seminar. Disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia, tanggal 19-22 September   di Jakarta.
Soedjadi, 2000. Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah di Indonesia. Konferensi   Matematika Nasional, 17-20 Juli 2000 di ITB Bandung.
UNESCO. 1998. Education For the Twenty-first century: issues and prospects. Unesco Publishing
Pugalee, David. 2001. Using Communication to Develop Students’ Mathematical Literacy. Mathematics Teaching in The Middle School Vol 6 No 5 Januari.  Hal : 296-299
Bell, E.H. (1978). Teaching and Learning Secondary School Mathematics. Dubuque: WMC Brown.
Dahuri, R. (2001). Mengasah Daya Saing Bangsa Menuju Globalisasi. Kompas,        12 Maret 2001, h. 5.
De Lange, J. Jzn (1987). Mathematics, Insight, and Meaning. Utrecht. VOWO.
Heuvel-Panheuizen, M. v. D. (1996). Assesment and Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Kline, M. (1968). Mathematics in the Modern World. San Fransisco: WH. Freeman and Co.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, Va.
National Research Council (1989). Everybody Counts. Woshington: National Academy Press.
Schifter, D. and Fosnot, CT. (1993). Reconstruction Mathematics Education. Teacher’s College, Columbia University.
Souviney, R.J. (1994). Learning to Teach Mathematics. New York: Addison Wesley.
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)