(KTI ) Pembelajaran Matematika Dengan Teori Belajar Konstruktivisme

0
Teori belajar konstruktivisme memandang anak sebagai mahluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Guru, yang dipandang sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, seyogianya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk menerima pelajaran, termasuk memilih metode yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, guru seharusnya mengetahui hakikat matematika itu sendiri, hakikat anak, dan cara mengajarkan matematika menurut teori yang diterapkan. Guru yang tidak mengetahui ketiga hal tersebut di atas bagaikan tidak mempunyai dasar dan tujuan yang jelas dalam mengajar. Akibatnya, anak dapat diarahkan ke mana arah tujuan pembelajaran matematika yang dikehendaki guru.

1. Pendahuluan
Apakah matematika itu? Hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para matematikawan tentang apa yang disebut matematika itu. Sedangkan sasaran penelaahan matematika itu sendiri sebagaimana kita tahu, tidaklah konkrit melainkan abstrak. Oleh karena itu, untuk menjawab apa matematika itu? Sejumlah tokoh memberi definisi, komentar, atau pandangan.

Romberg (dalam Jackson, 1992: 750) mengarahkan hasil penelaahannya tentang matematika kepada tiga sasaran utama. Pertama, para sosiolog, psikolog, pelaksana administrasi sekolah dan penyusun kurikulum memandang bahwa matematika merupakan ilmu yang statik dan disipilin ketat. Kedua, selama kurun waktu dua dekade terakhir ini, matematika dipandang sebagai suatu usaha atau kajian ulang terhadap matematika itu sendiri. Kajian tersebut berkaitan dengan apa matematika itu? bagaimana cara kerja para matematikawan? dan bagaimana mempopulerkan matematika?

Selain itu, matematika juga dipandang sebagai suatu bahasa, struktur logika, batang tubuh dari bilangan dan ruang, rangkaian metode untuk menarik kesimpulan, esensi ilmu terhadap dunia fisik, dan sebagai aktivitas intelektual.

Agak berbeda dengan pendapat di atas, Ernest (1991: 42) melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial yang memenuhi tiga premis sebagai berikut: (i) The basis of mathematical knowledge is linguistic language, conventions and rules, and language is a social constructions; (ii) Interpersonal social processes are required to turn an individual’s subjective mathematical knowledge, after publication, into accepted objective mathematical knowledge; and (iii) Objectivity itself will be understood to be social.

Selain Ernest, terdapat sejumlah tokoh yang memandang matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial. Misalnya, Dienes (dalam Ruseffendi, 1988: 160) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu seni kreatif. Oleh karena itu, matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni.

Bourne (dalam Romberg, 1992: 752) juga memahami matematika sebagai konstruktivisme sosial dengan penekanannya pada knowing how, yaitu pebelajar dipandang sebagai mahluk yang aktif dalam mengskostruksi ilmu pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan pengertian knowing that yang dianut oleh kaum absoluitis, di mana pebelajar dipandang sebagai mahluk yang pasif dan seenaknya dapat diisi informasi dari tindakan hingga tujuan (Dewey dalam Romberg, 1992: 752).

Kitcher (dalam Jackson, 1992: 753) lebih menfokuskan perhatiannya kepada komponen dalam kegiatan matematika. Dia mengklaim bahwa matematika terdiri atas komponen-komponen: (1) bahasa (language) yang dijalankan oleh para matematikawan, (2) pernyataan (statements) yang digunakan oleh para matematikawan, (3) pertanyaan (questions) penting yang hingga saat ini belum terpecahkan, (4) alasan (reasonings) yang digunakan untuk menjelaskan pernyataan, dan (5) ide matematika itu sendiri. Bahkan secara lebih luas matematika dipandang sebagai the science of pattern (Steen dalam Romberg, 1992: 754).

Sejalan dengan kedua pandangan di atas, Sujono (1988: 5) mengemukakan beberapa pengertian matematika. Di antaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. Bahkan dia mengartikan matematika sebagai ilmu bantu dalam mengiterpretasikan berbagai ide dan kesimpulan. Pengertian matematika sebagai ilmu tentang struktur yang terorganisir juga dikemukakan oleh Ruseffendi (1988: 261).

Pengertian yang lebih plural tentang matematika dikemukakan oleh Freudental (1991: 1). Dia mengatakan bahwa mathematics look like a plural as it still is in French Les Mathematiques. Indeed, long ago it meant a plural: four arts (liberal ones worth being pursued by free men). Mathematics was the quadrivium, the sum of arithmetic, geometry astronomy and music, held in higher esteem than the (more trivial) trivium: grammar, rhetoric and dialectic. …As far as I am familiar with languages, Ducth is the only one in which the term for mathematics is neither derived from nor resembles the internationally sanctioned Mathematica. The Ducth term was virtually coined by Simon (1548 - 1620): Wiskunde, the science of what is certain. Wis en zeker, sure and certain, is that which does not yield to any doubt, and kunde means, knowledge, theory.

Dari sisi abstaraksi matematika, Newman (dalam, Jackson, 1992: 755) melihat tiga ciri utama matematika, yaitu; (1) matematika disajikan dalam pola yang lebih ketat, (2) matematika berkembang dan digunakan lebih luas dari pada ilmu-ilmu lain, dan (3) matematika lebih terkonsentrasi pada konsep.

2. Perumusan Masalah

Masalah utama yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah faktor-faktor apa saja yang turut berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam belajar matematika dengan teori belajar konstruktivisme?

3. Tujuan Penulisan

Tulisan ini dimaksudkan untuk menambah bahan bacaan bagi pendidik, peserta didik, orangtua, pengguna dan pencinta matematika, serta pemerintah dalam rangka membantu anak didik mempelajari dan memahami matematika. Selain itu, tulisan ini diarahkan untuk menambah hasanah keilmuan tentang matematika sekolah yang selama ini cenderung kurang disenangi, ditakuti, dihindari, dan bahkan kadang-kadang dibenci oleh sejumlah anak melalui teori belajar konstruktivisme.

4. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

5. Hakikat Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kcil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalahperan aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

6. Mengapa Matematika Diajarkan di Sekolah?

Salah satu pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum mengajarkan matematika di sekolah adalah mengapa matematika perlu diajarkan di sekolah? Untuk menjawab pertanyaan ini sejumlah pakar dalam pembelajaran matematika memberikan pendapat, pandangan, atau komentar sebagi berikut.

Jackson (1992 : 756) mengatakan bahwa secara umum matematika adalah “penting bagi kehidupan masyarakat.” Oleh karena itu, matematika dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Sejalan dengan pandangan ini, Dreeben (dalam Romberg, 1992: 756) mengungkapkan bahwa matematika diajarkan di sekolah dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka panjang (long-term functional needs) bagi siswa dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa seseorang harus mempunyai kesempatan yang banyak untuk belajar matematika, kapan dan di mana saja sesuai dengan kebutuhan akan matematikanya sendiri.

Sebaliknya, kaum absolutis berpendapat bahwa algoritma matematika telah disusun sedemikian rupa dan dilengkapi dengan alat hitung yang canggih (seperti kalkulator dan komputer). Oleh karena itu, anak maupun masyarakat tidak perlu belajar banyak tentang matematika (Burke dalam Romberg, 1992: 757; Finn dalam Romberg, 1992: 757).

Sujono (1988: 15) mengajukan beberapa alasan mengapa matematika perlu diajarkan di sekolah. Pertama, matematika menyiapkan siswa menjadi pemikir dan penemu. Kedua, matematika menyiapkan siswa menjadi warga negara yang hemat, cermat, dan efisien. Selain itu, matematika membantu siswa untuk mengembangkan karakternya.

Sementara itu, Thorndike (dalam Jackson, 1992: 758) mengatakan bahwa matematika sangat penting diajarkan di sekolah karena matematika merupakan bagian penting dari batang tubuh pembelajaran itu sendiri.

Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, Freudental (dalam Romberg, 1992: 758) mengatakan bahwa tujuan diajarkannya matematika di sekolah adalah untuk melengkapi apa yang telah dimiliki oleh para ahli matematika. Pemahaman yang lebih umum dikemukakan oleh Jacobs (dalam Jackson, 1992 : 758) dengan mengatakan bahwa matematika diajarkan di sekolah karena dia merupakan kegiatan atau aktivitas manusia.

Pandangan yang lebih khusus dikemukakan oleh Stanic (dalam Romberg, 1992: 759). Dia menegaskan bahwa tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah untuk meningkatkan kemampuan berfikir siswa. Selain itu, peningkatan sikap kreativitas dan kritis juga dapat dilatih melalui pembelajaran matematika yang sistematis dan sesuai dengan pola-pola pembelajarannya.

Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah, di satu sisi merupakan hal yang penting untuk menigkatkan kecerdasan peserta didik. Namun, di sisi lain terdapat pakar yang menilai bahwa pembelajaran matematika di sekolah hanyalah merupakan kebutuhan yng bersifat pelengkap dari apa yang telah dikembangkan oleh para ilmuan dalam matematika.

7. Bagaimana Cara Mengajarkan Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme?

Secara umum, pembelajaran berdasarkan teori belajar konstruktivisme meliputi empat tahap: (1) tahap persepsi (mengungkap konsepsi awal dan membangkitkan motivasi belajar siswa), (2) tahap eksplorasi, (3) tahap diskusi dan penjelasan konsep, dan (4) tahap pengembangan dan aplikasi konsep (Horsley, 1990: 59).

Sejalan dengan pandangan di atas, Tobin dan Timon (dalam Lalik, 1997: 19) mengatakan bahwa pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme meliputi empat kegiatan, antara lain (1) berkaitan dengan prior knowledge siswa, (2) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experiences), (3) terjadi interaksi sosial (social interaction) dan (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making).

Petunjuk tentang proses pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme juga dikemukakan oleh Dahar (1989: 160), sebagai berikut: (1) siapkan benda-benda nyata untuk digunakan para siswa, (2) pilihlah pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, (3) perkenalkan kegiatan yang layak dan menarik serta beri kebebasan anak untuk menolak saran guru, (4) tekankan penciptaan pertanyaan dan masalah serta pemecahannya, (5) anjurkan para siswa untuk saling berinteraksi, (6) hindari istilah teknis dan tekankan berpikir, (7) anjurkan mereka berpikir dengan cara sendiri, dan (8) perkenalkan kembali materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa tahun lamanya.

Beberapa uraian di atas dapat memberi pandangan kepada guru agar dalam menerapkan prinsip belajar konstruktivisme, benar-benar harus memperhatikan kondisi lingkungan bagi anak. Di samping itu, pengertian tentang kesiapan anak untuk belajar, juga tidak boleh diabaikan. Dengan kata lain, bahwa faktor lingkungan sebagai suatu sarana interaksi bagi anak, bukanlah satu-satunya yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh bagi guru.

Yager (1991: 55) mengajukan pentahapan yang lebih lengkap dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Hal ini dapat menjadi pedoman dalam pembelajaran secara umum, pembelajaran dalam Ilmu Pengetahuan Alam dan pembelajaran Matematika. Cakupan tersebut didasarkan pada tugas guru yang tidak mengajarkan mata pelajaran pendidikan agama dan olah raga merupakan guru kelas.

Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering dijumpai sehari-hari oleh siswa dan mengaitkannya dengan konsep yang akan dibahas. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengillustrasikan pemahamannya tentang konsep tersebut.

Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan pada tahap ini akan terpenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena dalam lingkungannya.

Tahap ketiga, siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasi siswa, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya, siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari.

Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun melalui pemunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu dalam lingkungan siswa tersebut.

8. Contoh-contoh Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Teori Belajar Konstruktivisme

(1) Nilai Tempat dan Sistem Desimal.

Perhatikan dialog antara guru dan siswa dalam penelitian yang telah dilakukan oleh FitzSimons (1992: 79).

Guru : What is 10 to the power of 3?
Siswa : 1000
Guru : And 10 to the power of 2?
Siswa : 100.
Guru : So 10 to the power of 1 must be?
Siswa : 10
Siswa : What is 10 to the power of 0?
Guru : Let’s find what is 10 to the power of 0? What’s happen?
You know that the power of 10 decreases one by one do you?
What’s happen in case of 100…?
Siswa : Most of the children did not give responds.
Guru : The noughts keep getting crossed off. What does that mean?
When the noughts keep getting crossed off?
What are we really doing?
Siswa : We are taking a short cut.
Guru : We are taking a short cut?
Siswa : We are dividing by ten
Guru: : So what is 10 to the power by 0?
Siswa : One.
Guru : OK. What is 10 to the power of -1?
Siswa : Is it -1? No…, it can’t because the left-hand side is 01.
It must be point one. Every one seems to be happy when someone say 0.1 or 1/10″.

(2) Menghitung Nilai Rata-Rata

Contoh lain yang dapat dikembangkan oleh guru adalah menentukan rata-rata hitung. Perhatikan langkah-langkah pembelajarannya.

(a) Siapkan beberapa menara blok yang tingginya berbeda-beda sebagai benda kongkrit bagi anak. Misalnya pada gambar berikut ini

(b) Minta anak untuk memotong beberapa menara blok yang lebih tinggi sesuai dengan keinginannya.

(c) Tempelkan potongan menara blok yang tertinggi kepada menara blok yang terpendek. Selanjutnya, potong sebagian menara blok yang lebih tinggi dan letakkan atau tempelkan pada menara blok yang kurang tinggi. Lakukan hal ini seterusnya hingga semua menara blok adalah sama tingginya. Tinggi menara blok tersebut yang sudah rata disebut rata-rata tingggi. Hasilnya seperti berikut.

(4) Ulangi kegiatan di atas, dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu setiap menara blok dipotong atau dipisahkan secara vertikal. Hal ini dilakukan secara berturut-turut. Selanjutnya, susun hasil potongan dengan cara melintang (horizontal), yaitu melengketkan pada kertas atau buku matematika anak. Sehingga hasilnya seperti berikut ini.

Setelah hal ini dilakukan oleh anak, ajak mereka untuk berpikir bagaimana jika menara blok tersebut dibagi oleh lima orang anak sama banyak? Dari sini siswa diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri tentang konsep pembagian, yaitu
25/5 = 5. Dengan demikian, rata-rata tinggi menara blok tersebut adalah 5.

Dengan pendekatan seperti di atas, pada akhirnya anak dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui aktivitas yang dilakukan. Dengan kata lain, tanpa mereka diajar secara paksa, anak akan memahami sendiri apa yang mereka lakukan dan pelajari melalui pengalamannya.

9. Simpulan dan Saran

9.1 Simpulan

Menurut pandangan teori belajar konstruktivisme, pembelajaran matematika menuntut kemampuan guru yang lebih profesional dalam bidangnya. Misalnya bagaimana cara guru menciptakan kondisi pembelajaran yang dimulai dari isu-isu yang relevan dengan lingkungan anak. Selain itu, guru dituntut untuk terampil memilih topik yang dapat membangkitkan motivasi anak selama pembelajaran berlangsung.

Pengetahuan guru tentang hakikat matematika, hakikat anak dan tujuan pembelajaran matematika di sekolah sangat penting. Guru yang tidak mengetahui ketiga hal tersebut di atas bagaikan tidak mempunyai dasar dan tujuan yang jelas dalam mengajar. Akibatnya, anak dapat diarahkan ke mana arah tujuan pembelajaran matematika yang dikehendaki guru.

Berbagai hal yang telah disebutkan di atas belum cukup untuk membangkitkan semangat dan minat anak dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan sendiri termasuk matematika, jika tidak ditunjang atau dibarengi oleh keberadaan benda-benda nyata (konkrit) yang dapat dimanipulasi sendiri oleh anak.

9.2 Saran

Berdasarkan uraian dan simpulan tentang pembelajaran matematika dengan teori belajar konstruktivisme, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut. Kepada guru disarankan agar dalam mengajarkan matematika di sekolah hendaknya terlebih dahulu memahami dengan baik hakikat anak dan hakikat matematika itu sendiri serta menggunakan teori belajar yang relevan dengan kedua hal tersebut. Ketiga hal ini sangat penting untuk mengantarkan anak mencintai matematika. Kepada orangtua disarankan agar membantu anak, utamanya mempersiapkan benda-benda nyata di rumah yang dapat dimanipulasi oleh mereka dalam rangka memahami konsep matematika. Terakhir, kepada pemerintah disarankan agar terus memberi dukungan materil dan moril kepada guru dalam menerapkan dan mengembangkan setiap metode dan teori belajar yang dapat meningkatkan prestasi belajar anak, khususnya dalam mata pelajaran matematika.


Pustaka Acuan

Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Ernest, P. 1991. The Philosophy of Methematics Education. London: Falmer.

FitzSimons, G. 1992. Contructivism in Vocational and Further Education Classes. In M Horne and M. Supple (Eds.). Mathematics Meeting the Challenge (pp.77 - 82). Melbourne: The Mathematical Associtiaon of Victoria.

Freudental, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Hanbury, L. 1996. Constructivism: So What? In J. Wakefield and L. Velardi (Eds.). Celeberating Mathematics Learning (pp.3 - . Melbourne: The Mathematical Assciation of Victoria.

Horsley, S.L. 1990. Ementary School Science for the 90S. Virginia: Association Supervision and Curriculum Development.

Hudoyo, H. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.

Hudoyo, H. 1998. Pembelajaran Matematioka Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Era Globaliasasi. PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan..

Jackson, P.W. 1992. Handbook of Reseasrch on Curriculum. New York: A Project of American Educational Research Association.

Lalik, B. 1997. Perubahan Konsepsi Siswa pada Pembelajaran Topik Pernapasan di SD. Tesis PPS IKIP Bandung. Tidak Diterbitkan.

Poedjiadi, A. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. Bandung: Yayasan Cendrawasih.

Romberg, T.A. 1992. Problematic Features of the School Mathematics Curriculum, in J. Philip (Ed.). Handbook of Reseasrch on Curriculum (pp.749 - 788). New York: A Project of American Educational Research Association.

Ruseffendi, E.T. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sujono. 1988. Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suparno, P. 1996. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Susan, C., Marilyn, L. dan Tony, T. 1995. Learning to Teach in the Secondary School. London: Routledge.

Tanjung, R.M. 1998. Efektivitas pembelajaran Biologi yang Berdasarkan pada Prinsip Belajar Konstruktis. Makalah Komprehensif. PPS IKIP Malang. Tidak Diterbitkan.

Tasker, R. 1992. Effective Teaching: What Can a Constructivist View of Learning Offer. The Australian Science Teacher JouTyrnal. 38 (1), 25 - 34.

Tytler, R. 1996. Constructivism and Conceptual Change View of Learning in Science. Majalah Pendidikan IPA: Khasanah Pengajaran IPA. Bandung: IMAPIPA.

Wheatley, G.H. 1991. Constructivist Perspective on Science and Mathematics Learning. Science Education Journal. 75 (1), 9 - 21.

Yager, R. 1991. The Constructivist Learning Model: Toward Real Reform in Science Education. Journal of Science Teacher. 58 (6), 52 - 57.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)