Menurut bahasa, haid berarti sesuatu
yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita
secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid
adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau
kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut
berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya,
sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2.Hikmah Haid
Adapun hikmahnya, bahwa karena janin
yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan
oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk
menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah menjadikan pada
diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi
janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada
tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui urat dan
menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta. Inilah
hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil
tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang
menyusui sedikit haid, terutama pada awal masa penyusuan.
Usia Dan Masa
Haid
Usia Haid
Usia haid biasanya antara 12
sampai dengan 50 tahun Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid
sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim
yang mempengaruhinya.
Para ulama, rahimahullah, berbeda
pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang
wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?
Ad-Darimi,
setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan: "Hal
ini semua, menurut saya, keliru. Sebab, yang
menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam
kondisi bagaimana pun, dan pada usia
berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah
Yang Maha Tahu. (Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, Juz 1, hal 486)
Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar dan
menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita
mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun
atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid
pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan usia tertentu.
Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah
dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun dalil
yang menunjukkan hal tersebut .
Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam
hal ini.
Ibnu Al-Mundzir mengatakan: "Ada
kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari
minimal atau maksimalnya''. Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas,
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar
berdasarkan Al Qur'an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama:
Firman Allah Ta 'ala.
"Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu suatu kotoran".
Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci" (Al-Baqarah :222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari-semalam,
ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat
(alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid
berlakulah hukum itu dan jika telah suci(tidakhaid) tidakberlaku lagi
hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa
Nabi bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram
untuk umrah:
"Lakukanlah
apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di
ka'bah sebelum kamu suci". Kata Aisyah: "Setelah masuk hari raya
kurban, barulah aku suci". Dalam Shahih Al Bukhari, diriwayatkan bahwa
Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda kepada Aisyah:
"Tunggulah.
Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan'im"
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini
menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang
disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al Qur'an maupun
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam ; padahal ini perlu, bahkan amat
mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut
termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah
kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya
kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang
berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya.
Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya
telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya,
ruku' dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya dan
siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa: waktu dan masanya; tentang haji
dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur,
jima' (hubungan suami-isteri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang
hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan
perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan
agama dan kesempumaan nikmat yang dikaruniakanAllah kepada kaum Mu'minin.
Oleh karena pembatasan dan rincian
tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi SAW maka nyatalah
bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya
dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan
hukum-hukum syara' menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini - yakni suatu hukum tidak
dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah - berguna bagi Anda
dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena
hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar'i dari
Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma' yang diketahui, atau qiyas
yang shahih.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan:
"Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam
Kitab dan Sunnah, yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan
maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya
dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasa pun tidak membedakan
antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu
batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah.
Dalil keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum
sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat (alasan) haid sebagai kotoran.
Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara
hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga
tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau
antara hari kedelapanbelas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan
kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat 'illat yang sama.
Jika demikian. Bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari
itu, padahal keduanya sama dalam 'illat? Bukankah hal inibertentangandengan
qiyas yang benar? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari
tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam 'illat?
Dalil kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat
dikalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukkanbahwa dalam masalah ini
tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan
hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu
pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila
terjadi perselisihan pendapat adalah Al Qur'an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan
tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang
rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan
disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa
mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluamya darah itu terus
menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari
dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah.
Dan akan dijelaskan, Insya Allah,
tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah
haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah."
Kata beliau pula: "Maka darah yang
keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka."
Pendapat ini sebagaimana merupakan
pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat
dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada
pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian,pendapat inilah yang
lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam,
yaitu: mudah dan gampang.
Finman
Allah Ta 'ala: "Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan. " (Al Hajj : 78 )
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam : "Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidakseorang pun
mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka
berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira.
" (Hadits riwayat Al Bukhari).
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu
alaihi wasalam bahwajika beliau diminta memilih antara dua perkara, maka
dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.
Haid Wanita Hamil
Pada umumnya, seorang wanita jika dalam
keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad,
rahimahullah, " Kaum wanita dapat
mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid".
Apabila wanita hamil mengeluarkan darah
sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit, maka
darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum
kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu
bukan darah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula
baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti
hukum-hukum haid? Ada perbedaan
pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.
Dan pendapat
yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita
menurut kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi
pada wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai
darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur'an maupun
Sunnah yang menolak kemungkinan tejadinya haid pada wanita hamil.
Inilah
madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyarat (hal. 30): "Dan
dinyatakan oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari
Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat
ini".
Dengan
demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid
wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah:
Talak.
Diharamkan
mentalak wanitatidakhamildalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap
wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap
wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta 'ala:
"... apabila
kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)..."(Ath-Thalaaq: 1)
Adapun mentalak wanita hamil dalam
keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita
hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik
dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan kehamilan. Untuk
itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan
jima' (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.
Iddah.
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir
dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak.
Hal-hal diluar
Kebiasaan Haid
Ada beberapa hal yang terjadi di luar
kebiasaan haid:
1.Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid
selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau
sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa
enam hari.
2.Maju atau mundur waktu datangnya
haid.
Misalnya,
seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lain tiba-tiba pada awal bulan.
Atau biasanya haid pada awal bulan lain tiba-tiba haid pada akhir bulan.
Para ulama
berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat yang benar
bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah haid maka dia berada dalam keadaan
haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci,
meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya serta maju atau
mundur dari waktu kebiasaannya. Dan telah disebutkan pada pasal terdahulu dalil
yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum
haid dengan keberadaan haid.
Pendapat
tersebut merupakan madzhab ImamAsy-Syafi'I dan menjadi pilihan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Pengarang
kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, katanya:
"Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan menurut yang
disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena
tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan.
Isteri-isteri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu
pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata
tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
pernah
menyebutkan
tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan
wanita yang istihadhah saja."
1.Darah berwarna kuning atau keruh.
Yakni seorang wanita mendapatkan
darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan
kehitam-hitaman. Jika hal ini tejadi pada saat haid atau bersambung dengan haid
sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid.
Namun, jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan
riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu 'Anha: "Kami
tidak menganggap, apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa
suci"
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan
sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari tanpa kalimat "sesudah
masa suci ", tetapi beliau sebutkan dalam "Bab Darah Warna Kuning
Atau Keruh Di Luar Masa Haid".
Dan dalam Fathul Baari dijelaskan: "Itu merupakan isyarat Al-Bukhari
untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu
melihat lendir putih " dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab
ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna
kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa
yang disampaikan Ummu Athiyah".
Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits
yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah
mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita
untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya
darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata: "Janganlah tergesa-gesa
sebelum kamu melihat lendir putih ': maksudnya cairan putih yang keluar
dari rahim pada saat habis masa haid.
2.Darah haid keluar secara terputus-putus.
Yakni sehari keluar darah dan sehari
lagi tidak keluar. Dalam hal ini
terdapat 2 kondisi :
1. Jika
kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu
adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.
2. Jika
kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja
datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
kondisi` ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau
ternasuk dalam hukum haid?
Madzhab
Imam Asy-Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal
ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab AI-Faiq, juga merupakan madzhab Imam
Abu Hanifah. Sebab, dalam
kondisi seperti ini tidak didapatkan
lendir putih; kalaupun diljadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya
adalah haid dan yang sesudahnya pun haid, dan tak ada seorangpun yang
menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan
perhitutungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja.
Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan
menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal
tidaklah syari'at itu menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut madzhab
pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti haid dan jika
berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal
masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni:
"Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap
sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan
nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari takperlu diperhatikan.
Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab, dalam keadaan keluarya darah yang
terputus-putus (sekali keluar sekalitidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita
pada setiap saat terhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal
Allah Ta 'ala berfirman:
"Dan Dia
(Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
" (Al Hajj : 78 )
Atas dasar ini, berhentinya darah yang
kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita
mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah
tersebut: pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih."
Dengan demikian, apa yang disampaikan
pengarang kitab Al-Mughni merupakan pendapat moderat antara dua pendapat di atas.
Dan Allah Maha Mengetahui yang benar.
1.Terjadi pengeringan darah.
Yakni,
si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum
masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci,
maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama
dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.
Selanjutnya akan dilanjutkan dengan pembahasan hukum-hukum Haid.